Doi#15

35 6 15
                                    

Hari Sabtu datang lagi. Siklus hari yang telah terjadi jutaan tahun di bumi masih terus berlanjut.

Minggu depan ada ujian. Jei mengajak Ken, Rei, dan Icha belajar bersama. Sebenarnya Jei juga mengajak Icy, Sydney, dan Joice. Lagi-lagi mereka sibuk, entah apa yang membuat mereka sibuk tiap hari.

Icy selalu pergi ke luar kota tiap weekend. Entah apa yang dilakukannya. Mungkin mengurus kandang ayamnya di kota itu.

Mungkin kalau Sydney, daripada belajar bersama dua cowok yang tidak terlalu dikenalnya, lebih enak tidur di rumah.

Kalau Joice? Entahlah, dia tidak memberi kabar.

Berakhirlah mereka di rumah Ken sekaligus tempat penampungan Rei. Eempat remaja jomblo dengan angan-angan yang tidak pernah kesampaian.

Jei dan Ken yang sangat fokus dalam pelajaran mereka. Rei sudah tidur sejak lima belas menit setelah dimulainya acara belajar mereka. Icha? Sudah pasti bermain ponsel.

Jei melihat Icha yang bahagia bersama ponselnya. Jei harus menahan hasrat bermainnya itu kalau tidak mau ada nilai yang membuatnya remedial. Kalau Icha sudah bermain ponsel, Jei ingin memakan umpan pancingan itu.

"Jei, fokus." Ken memukul pelan kepala Jei menggunakan pensil saat gadis itu masih menatap Icha yang bermain dengan ponselnya.

"Kok lo gak marahin Icha, sih? Harusnya dia juga kena!" Semprot Jei tidak terima.

"Gue kan dah kelar ngisi soal-soalnya. Salah lo lemot." Balas Icha.

Jei cemberut. Oke. Dia akan menyelesaikan semua soal itu hanya dalam hitungan menit. Dengan itu dia bisa istirahat sambil memainkan ponselnya.

Jei juga menatap Rei. Kenap cowok itu malah tidur? Apa dia sama sekali tidak peduli dengan nilainya?

"Lo gak usah pentingin soal Rei. Dia otaknya encer. Pas guru jelasin otaknya udah ngerekam semua yang diajarin. Kalo dia malah belajar sebelum ujian, dia bakal nge-blank. Anggep aja dia lagi meditasi." Ken mengangkat bahunya sambil menatap Rei yang tertidur di atas meja.

Ken lalu menatap Jei. "Yang penting sekarang...lo. Gue gak suka kalo nilai lo turun cuma gara-gara ngeliatin Rei."

"Oh, jadi sekarang lo udah mulai buka-bukaan, ya?" Batin Icha sambil tersenyum.

"Nilai gue gak bakal turun, kok." Jei kembali fokus pada bukunya.

Sampai setengah jam, Jei akhirnya menyelesaikan soal-soal di bukunya. Ia melihat kalau Icha sudah melepas ponselnya dan membaca buku pelajaran. Rei masih tidur dan Ken tetap berkutat dengan buku.

"Kok lo belajarnya serius banget, Ken?" Tanya Jei.

"Gue sadar otak gue gak seencer Rei, makannya gue berusaha belajar lebih keras." Mata Ken masih ada di buku dan tangannya bergerak-gerak memegang pensil.

"Lo kan dah pinter. Gue perhatiin ulangan lo banyak yang sempurna." Balas Jei mengetuk jarinya di atas meja sambil menopang dagu dengan tangannya.

Ken menoleh, ikut berpangku dagu. "Lo perhatiin gue?"

Jei langsung menutup bibirnya rapat-rapat. Seperti biasa, pipinya memerah.

Tak lama kemudian, Ken tersenyum. "Itu berarti usaha gue setia."

Jei tertegun melihat Ken. Baru kali ini Jei melihat orang seperti Ken di hidupnya. Selama ini Jei kadang bersikap santai akan hidupnya. Kurang lebih tidak seserius Ken.

Ken kembali belajar. Sebenarnya dia bisa saja menyudahi aktivitas yang menurut kebanyakan orang 'membosankan' itu.

Tentu saja Ken harus belajar lebih giat. Ia ingin diakui. Ia ingin memiliki harga. Bukan untuk teman-temannya, ia ingin terlihat di mata orang yang sangat disayanginya. Meski ia tahu, mereka tidak pernah menyayanginya dan tidak akan pernah mengharapkan sosoknya.

##

Sekarang sudah sore. Karena beberapa alasan Jei masih ingin tinggal. Ken sangat serius belajar, Ken sama sekali tidak menyisihkan waktu untuk istirahat.

"Lo bucin banget sama Kimia, ya?" Sindir Icha sambil menyimpan buku-bukunya ke dalam tas.

Ken tidak menjawab. Icha memutar kedua bola matanya. Coba kalau Jei yang bicara, Ken pasti akan membalas dengan ratusan kata.

"Cha, lo dah mo pulang?" Tanya Jei. Icha hanya mengangguk karena masih sibuk dengan barang-barangnya.

Setelah selesai menimpang, Icha menatap Jei sambil berdiri membawa tasnya. "Lo masih mau tinggal?"

"Gue mau les privat sama Ken." Jei tertawa.

"Oh, ya udah. Gue pulang duluan kalo gitu. Gak apa nih gue tinggal?" Tanya Icha memastikan.

"Udah lo pergi aja. Gue cowok baik-baik. Di sini juga gak cuma gue, ada banyak penghuni." Icha menatap Ken malas. Ia tahu, Ken memiliki niat tersembunyi.

"Nyaut ae lo. Jei, gue tinggal, ya? Awas kesambet penghuni rumah! Kalo macem-macem tabok aja 'itu' nya pake vas bunga." Sebenarnya Icha tahu yang dimaksud penghuni bukan penghuni yang terbang melayang ke sana kemari itu. Rumah Ken sangat besar, tidak mungkin tidak ada pembantu rumah tangga di sini. Icha hanya ingin menambahkan sedikit humor yang mungkin tidak memiliki selera.

Ken melotot. "Enak aja pake tabok-tabok." Gumamnya.

"Gue anter."

"Njir, lo kapan bangunnya?" Icha menyipitkan matanya.

Rei yang tidak membaca buku sedikit pun hari ini memang menghabiskan satu hari untuk tidur. Tidur siang berasa tidur malam. Ia tidur dengan pulas dan tidak sedikit pun membuka matanya.

"Barusan."

"Ngapain nganter gue?"

"Nganter."

"Lah iya ngapain?"

"Nganter."

Kepala Icha rasanya ingin pecah sekarang juga. "Serah lo!"

Rei segera berdiri saat melihat Icha berjalan tergesa-gesa. Rei menyeringai. Untuk pertama kalinya, bibir itu terbuka memperlihatkan giginya.

Rei memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia menang lagi, dan seterusnya akan begitu.

##

TBC

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang