Doi#10

43 5 21
                                    

Jei dan Icha terus saja menoleh ke belakang sejak melihat ekspresi menyeramkan di wajah Rei.

Kalau Rei yang biasanya tidak memiliki ekspresi dan seram, kali ini ia terlihat semakin menyeramkan. Wajahnya seolah berkata bahwa ia siap menerkam siapapun yang datang mengusiknya.

"Dikasi pelet apaan dia, Jei?" Bisik Icha.

"Biasanya emang udah gitu, Cha." Balas Jei.

"Nggak. Punggung gue panas, biasanya gak gini. Masa sih mereka berantem?" Sanggahnya. "Ato karna jaketnya belom gue balikin?" Icha bergumam pada dirinya sendiri.

"Lo nyuri jaket sapa, Cha?"

"Enak aja nuduh gue nyolong."

Icha kemudian menoleh ke belakang. Saat itu juga matanya langsung menatap iris hitam Rei. Dalam hati, Icha meringis.

"Anjir jantung gue...tolong tatapannya dikondisikan."

Seketika itu juga Icha lupa tentang apa yang akan dikatakannya. Icha berbisik pada Jei, "Jei, lo bantuin ngomong gih. Ngeri gue liatnya."

"Ogah, ntar gue yang kena semprot." Ucap Jei sambil sesekali menyempatkan diri untuk melirik ke belakang.

Rei terlihat lebih seram dari yang biasanya. Yang membingungkan, Ken sama sekali tidak terpengaruh dengan orang di sebelahnya. Dia masih seperti biasa. Hanya saja hari ini mood-nya menurun dan lebih jarang bicara, entah hal itu berhubungan dengan Rei atau tidak.

"Lo berdua bisikin apa sih dari tadi?" Tiba-tiba Icy menyambung percakapan.

"Belakang lo gak panas Cy?" Tanya Jei. Icy menggeleng polos.

"Gue aja pake jaket karena dingin, punggung gue langsung kena AC soalnya." Jawab Icy.

Icha menghela nafasnya sambil tersenyum masam. "Seterah lo, Cy."

"Hah?" Icy tersenyum sambil memperlihatkan deretan giginya, dia masih tidak mengerti.

"Duh, Cy! Lo gak peka." Jei menggaruk kepalanya. Sama seperti Icha, dia akhirnya menyerah dan bermasa bodoh.

"Apa, sih?" Icy melihat ke belakang. Di sana ada Rei yang menyorotkan tatapan kesal sambil menyandarkan kepalanya di tembok. Ken yang duduk hampir tepat di belakangnya juga tidak tersenyum.

Biasanya Ken selama pelajaran sedang berlangsung, dia tidak akan pernah berhenti tersenyum dan menatap lurus ke depan. Seperti mayat hidup. Tiga kata itu cukup untuk mendeskripsikan Ken sekarang.

"Oohh..." Icy akhirnya menertawakan dirinya saat menyadari kebodohan sendiri. Kenapa dia tidak sadar, ya?

"Jei, ajakin Ken ngomong tuh. Gak enak liat dia diem mulu kek nahan boker." Icha menyenggol Jei.

"Kok gue sih? Gue gak pinter ngomong."

"Ngomong gak pake rumus segala, Jei."

"Gimana kalo lo ajak mereka keluar. Biar gak monyong mulu." Usul Icy.

"Keluar? Ke mall?" Tanya Jei. Icy mengangguk.

Usul Icy sangat bagus. Kalau nanti mereka jadi pergi, itu akan menjadi pertama kalinya mereka pergi bersama.

"Tapi gue ada les." Icha mengembuskan nafas.

"Jam enam, kan? Ntar kita pulang lebih cepet kok. Guru-guru ada rapat buat bahas PTS."

Jei menimbang-bimbang. "Gue, sih, free. Enak juga sebenernya. Lumayan kan jalan sama cogan." Sifat Jei yang sebelumnya pernah terpendam kembali membara. Ia tersenyum penuh arti.

"Lo ikut, ya, Cy." Ajak Jei.

Icy menggeleng kuat. "Ogah! Ntar gue jadi nyamuk."

"Gue baru tau ada revolusi manusia jadi nyamuk." Canda Icha sambil tertawa.

"Ntar ngajak Sydney sama Joice kalo mereka bisa." Jei bicara sambil pura-pura memperhatikan guru di depan saat guru itu melihat ke arah mereka.

"Tetep gak mau. Kalo mereka gak bisa?"

"Udah ikut aja, Cy. Lo yang nyaranin, konsekuensi buat lo." Ucap Icha santai sambil mencatat.

Icy menggerutu. Ia sudah pasrah.

Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi sepulang sekolah. Saat ini mereka masih belum berani berbicara dengan dua orang itu. Entah apa yang merasuki mereka. Sepanjang pelajaran hingga pulang sekolah, tempat duduk di belakang bagaikan neraka bagi mereka.

##

Setelah sekian lama gue gak nongol, akhirnya gue bisa ngomong di sini. Lo pada lupa? Gue si upil itu loh, masih di tempat biasa.

Karena Jei gak berani ngomong, Icy juga nge-iya-iya aja. Akhirnya gue yang ngajakin mereka berdua.

Gue sama Jei numpang di mobilnya Icy. Bagus si Icy ikut. Gue sama Jei ada alasan buat nolak biar gak dibonceng dua makhluk astral itu.

Akhirnya kita sampai di mall. Ken sama Rei udah nunggu di lobby. Liat aja mereka sekarang. Udah kayak artis sama fans nya aja.

Di antara mereka gue ngerasa jadi buruk rupa. Jei cantik banget meski gak pake make up. Icy tetep manis, lucu banget. Dua cogan bak kesatria. Sedangkan gue cuma upik abu yang lagi jalan di belakang mereka.

Jei lagi jalan sejajar sama Ken. Si Ken gak senyum sama sekali hari ini. Gue gak tau kenapa dia jadi banyak diam sejak kemaren sepulang dari Nesiamaret.

Kalo gue jalan kadang di sebelah Icy, kadang di belakang, kadang agak ke depan, ato di sebelah Rei. Gue ogahnya kalo jalan sama Rei. Berasa banget perbedaannya. Kayak langit sama inti bumi.

Jei yang lebih dari gue aja—cuma beda dua senti!—udah se dadanya Rei. Gue gimana coba?

Dilihat dari belakang, Jei juga beda jauh tingginya sama Ken. Ken emang nggak setinggi Rei. Tapi di golongan cowok dia termasuk tinggi. Perbedaan tingginya sama Rei gak beda jauh, kira-kira cuma beda tiga sampe empat senti.

Gue rasanya pengen senyum-senyum sendiri ngeliat Jei di samping Ken. Entah kenapa keliatan serasi. Cocok. Gue nge-ship mereka!

Tapi Jei kan sukanya sama Rei. Menurut gue dia cocok sama sapa aja. Terserah dianya. Kalo pun emang dia udah milih Rei, gue cuma bisa dukung. Kalo hatinya dah pindah ke Ken, gue mau bilang apa lagi?

Dari sini gue bisa liat Jei curi pandang ke Ken. Kadang dia juga perhatiin beberapa orang yang ngelirik dua cogan.

Gue akuin di saat Ken lagi gini dia keliatan keren. Kayak lem, sulit lepas kalo mata kita udah nempel. Lo jangan salham. Gue gak tertarik sama Ken.

Si Rei beda lagi. Menurut sudut pandang gue, bukannya cool dia malah keliatan nyeremin. Ngeri gue kalo liat dia, pengen cepet-cepet buang muka biar gak lama-lama natapnya.

Setelah beberapa lama kita jalan, kita masuk ke salah satu cafe.

Sial. Gue benci situasi ini. Pusat perhatian, harusnya gue gak nurutin usulnya Icy. Gue tau bakal jadi gini kalo ada di antara cogan.

Jei juga pasti risih. Dia gak suka ditatap banyak orang. Hal itu sedikit menyebalkan.

Icy dari tadi gak ngomong. Cuma jalan dalam diam. Ni dua cowok bikin suasana hening banget. Icy aja yang biasanya gak gini jadi diem. Jei apalagi? Gue juga gak bisa ngomong apa-apa. Gue agak sulit milih topik yang bener kalo di situasi macam gini.

Argghhh!!! Hari ini, hari yang terburuk! Siapapun yang bikin mereka kek gini, gue kutuk jadi cicak!

##

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang