Sudah berlalu, namun rasa tak kunjung hilang. aku masih saja memikirkan hal yang selalu kita bicarakan dulu. Aku masih sama, menatap langit yang sama, berharap sang langit menyampaikan rinduku ini kepadamu. Apakah kamu tahu? setelah tidak denganmu, hidupku jauh lebih baik-baik saja meski memang tidak baik-baik saja. Aku menutupi kesedihan dengan sebaik mungkin. Aku berusaha terlihat lebih tegar saat kamu menatapku. Aku berusaha lebih tenang, saat kamu berbicara denganku. Semua raut bahagia diwajahku hanyalah penutup kesedihan saja. Tapi nampaknya kamu terlihat bahagia. Kamu lebih bahagia setelah tidak denganku, kamu jauh lebih bahagia dan baik-baik saja. Sedangkan aku, masih saja belum bisa merelakan kepergianmu itu. Aku menantimu disini walau tak tiada arti bagimu. Seperti menunggu ular melahirkan ayam saja, lama dan tak mungkin. Entah sampai kapan rasa ini pudar meski kamu sudah pergi. Aku pun tidak ingin terus begini, terus saja terbayang kenangan indah bersamamu, di teror paksa untuk mengingat segala yang pernah kita lalui, dikejar oleh beribu kenangan, sedangkan kamu dengan begitu mudah bisa melupakan semuanya yang pernah kita lalui, kamu mudah membuka jalan untuk seseorang yang datang dihidupmu, kamu mudah memberi peluang banyaknya seseorang yang mencoba datang di duniamu.
Waktu yang tak bisa dirubah, waktu yang tak bisa diputar ulang. Tak membuatmu kembali ke dekapanku. Waktu sudah merusak suasana indah bersamamu. Aku yang dulu pernah begitu keras memperjuangkanmu. Sekarang kita saling asing. Waktu yang menuntun kita untuk kembali pisah, berpulang ke pelukan orang lain. Menjalani dunia baru bersama pilihan kata hati kita masing-masing. Aku bisa terima jika waktu merebutmu untuk pergi. Yang aku tidak menyangka ialah waktu begitu cepat merebutmu saat aku mulai melekat di relung jiwamu. Saat perasaanku sudah sepenuhnya tumpah untukmu. Namun semesta punya rencana lain, waktu lebih keras merebutmu dari genggamanku. Dia merebut dekapanku selama ini. Dia merebut angan yang selama ini aku gapai. Sudah di rebut namun hati tak ingin pamit. Kapan aku bisa pamit? Dari rasamu yang terlalu sakit. Duniaku kembali terbunuh dengan luka juga rasa sakit. Duniaku kembali terdiam menutupi luka pilu. Duniaku kembali jatuh, saat semesta memberi jalan untuk kita pisah. Dia baik, dia yang selalu mengerti duniaku. Hanya saja semesta lebih berhak mengambil paksa seseorang maupun mengembalikan. Sekarang mau apa disini? Terus berdiri menunggu waktu agar kembali dipertemukan. Secepat itu kamu pergi meninggalkan, sedang aku masih senang memperjuangkan. Aku senang denganmu, aku ingin dengannya. Namun waktu mengingatkan bahwa angan itu sudah kian pergi jauh meninggalkan.
Aku tidak akan menyalahkan atas keputusanmu untuk pergi kala itu. Dulu pun aku sudah mencoba mencegahnya, namun egomu yang memenangkan. Kamu memilih pada egomu yang tinggi itu untuk segera pergi meninggalkanku. Akupun tidak pernah menyesal jika dirimu pergi dariku, hanya saja aku menyesal karena belum bisa sepenuhnya membahagiakanmu. Aku tidak ingin menyesali perihal kamu pernah ada, aku menyesali perihal janjiku untuk selalu membahagiakanmu.
Aku juga kian menyadari bahwa seseorang yang bukan terbaik untukku dia mudah pergi. Aku selalu mengupayakan agar tidak membenci. Belajar tetap tegar juga menerima kenyataan bahwa kamu sudah pergi. Kini aku akan secepatnya pergi, dan melupakan kenangan ini. Kenang selalu aku sebagai orang yang pernah singgah di hati. Sebagai seseorang yang pernah mengisi hati. Seseorang yang begitu kerasnya mempertahankan agar tidak pergi. Seseorang yang selalu sabar menghadapi. Dan juga seseorang yang selalu menanti. Bagaimanapun nanti, aku berusaha agar tidak membenci. Aku akan berhenti mencintai. Jangan berkecil hati, aku sesegera mungkin pergi. Bertualang menemukan hal baru, hal yang aku senangi. Mencari sesuatu yang bisa aku jadikan pengisi hati. Seseorang itu yang kelak tidak mudah pergi. Tapi rupanya itu susah untuk kucari saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUCIN
PuisiJangan baper apalagi nangis. Alwan izzi ramadhani. Balapulang, 23 januari 2020.