Beri jejak jika bertemu TYPO.
Happy reading ^^
.
.
.
.
."Okaa-san, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Sakura pada Mikoto.
Dua perempuan itu sedang duduk di ruang tengah. Sakura mengupas buah apel di tangannya. Memotongnya menjadi beberapa bagian. Hari ini, Sakura tak datang ke rumah sakit. Ia meminta cutinya.
"Hmm?" sahut sang ibu mertua.
"Saat pesawat itu jatuh, bukankah masih tersisa dua atau tiga hari untuk kalian berempat berlibur?"
Pertanyaan sang menantu bermahkota merah muda itu sedikit mengganggu pikirannya. Mata Mikoto sayu, tengah mengingati kejadian yang menusuk hatinya. Sakura baru ingin meminta Mikoto melupakan pertanyaannya, namun wanita itu justru menjawab.
"Mebuki meminta pulang lebih awal. Katanya, ia merindukanmu," jawab Mikoto pelan.
Sakura tertegun. Perlahan, ia merasa dadanya sesak. Apa perasaannya sampai pada sang ibu? Memang, waktu itu, baru tiga hari tak bertemu orang tuanya, Sakura rindu sekali pada mereka. Sampai kabar itu pun datang menyapa dirinya.
"Memang benar, masih tersisa tiga hari lagi sampai kami pulang. Tapi saat itu, Mebuki seperti seorang anak kecil yang tak ingin jauh dari rumahnya," imbuh Mikoto.
Rumah. Sakura sebenarnya tak tahu apa makna rumah yang sesungguhnya. Yang pernah ia dengar, rumah bukan hanya tempat berupa ruang yang bisa ditinggali, namun bisa juga seseorang yang bisa mengerti dirimu. Seorang ibu misalnya.
Seketika Sakura sadar, ibunya adalah tempatnya untuk pulang. Sakura memang menganggap ibu mertuanya sebagai ibu kandung. Namun dari sudut pandangnya sebagai seorang menantu, Sakura terkadang memandang Mikoto adalah orang tua yang harus ia hormati selain suaminya.
"Akhirnya aku menyetujui permintaannya. Kedua ayahmu tentu saja menyetujui. Kau tahu, Sakura? Mebuki memintaku memilihkan mafela yang cocok untukmu, sebagai kado ulang tahunmu. Kupikir masih lama, tapi Mebuki bersikeras memintaku menemaninya membeli itu sebelum kembali ke Tokyo," ujar Mikoto bercerita. Tanpa ia sadari, air matanya sudah lolos dari tempat. Melihat hal itu, Sakura sepertinya akan tertular untuk menangis.
"Dia seorang ibu dan sahabat yang baik, bukan?" tanya Mikoto. Sakura mengangguk. Kini, gadis itu mulai mengerjapkan matanya saat air mulai keluar dari sana.
"Dia selalu mendengarkan keluh kesahmu, kan?" tanya Mikoto lagi. Sakura mengangguk lagi.
"Dia yang pertama kau cari saat kau sedang sedih atau perasaanmu sedang tak baik?"
Lagi-lagi, Sakura mengangguk. Semua yang dikatakan ibu mertuanya benar. Sakura ingat bagaimana dulu ia selalu menangis pada Mebuki jika sedang lelah karena kuliahnya. Bahkan sebelum itu, ia selalu menceritakan tentang seseorang yang ia cintai, tanpa mengatakan bahwa lelaki itu adalah anak dari sahabat ibunya.
"Hiks! Harusnya aku tetap melarangnya untuk pulang lebih awal," sesal Mikoto.
Sakura menoleh. Ia menggeleng pelan. "Tidak, Kaa-san. Mungkin Kaa-san lebih menyesal lagi jika tidak menurutinya. Kau tidak boleh menyesal sekarang. Mereka pasti bahagia di sana," ucap Sakura menenangkan.
Mikoto merengkuh Sakura. Menumpahkan tangisnya di bahu gadis itu. Sakura membalasnya. Ia memang menangis, namun menahan isakannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang berlubang di dadanya. Rasanya seperti ingin ia tutupi lubang itu dengan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yosougai [SasuSaku] ✔
أدب الهواة[SELESAI] //Yosougai - Naruto Fanfic [REVISI BERTAHAP]// "Izinkan kami berpisah," ucap Sakura. Semua yang ada di ruangan itu menghentikan aktivitas mereka, tanpa terkecuali sang suami. "Apa ... dia serius?" tanya lelaki itu dalam hati. . . . Perasaa...