Aku memasukan beberapa pakaianku kedalam koper, kumasukan juga beberapa berkas dan pekerjaanku yang penting.
Karena sudah selesai dan setuju akan masalah menikah, orang tuaku ingin pergi berlibur ke Tokyo. Mereka memang sudah lama tidak berlibur. Daejoon menginap dirumah temannya, dan yang jadi masalah, aku dipaksa menginap di tempat Jungkook sementara.
Agar kami bisa dekat, kata mereka.
Mereka akan berangkat malam ini, dan ibuku sibuk menghubungi Jungkook untuk menjemputku. Sedikit sulit memang, karena nyatanya aku dan pria satu itu harus berpura-pura seakan-akan kami memang tulus menerima pernikahan ini. Padahal baik aku maupun Jeon Jungkook sama-sama menerima ini karena keuntungan semata, dan berjanji tidak melibatkan perasaan kami.
Mungkin hatiku memang sudah mati sejak saat itu.
Tok tok,
Belum sempat aku menyahut, pintu kamarku sudah terbuka, menampilkan sosok Jungkook dengan kemeja putih lengan panjang yang dilipat sampai siku. Berkeringat dan terlihat lelah, khas orang baru pulang kerja.
"Pastikan tidak ada yang tertinggal." Ujarnya sambil memainkan telepon genggam miliknya.
Aku hanya mengangguk membalasnya.
"Apa rumahmu jauh?" Tanyaku."Tiga puluh menit dari sini kalau naik mobil. Daerah pantai." Jawabnya.
"Kenapa?" Matanya yang tertuju pada telepon itu beralih ke dua manikku.Wah, orang beruang memang beda, ya. Rumah didekat pantai mungkin hanya bagai makan di restoran yang agak mahal buatnya.
"Aku ada operasi besok pagi, aku tidak boleh terlambat." Aku menjawabnya santai setelah sadar dari lamunanku sendiri."Ikut aku saja. Besok aku juga ada meeting pagi." Ujarnya masih setia menatap handphone di genggamannya.
"Arasseo."
"Harusnya aku tidak perlu sampai ikut ke rumahmu. Merepotkan sekali." Ujarku selang beberapa menit."Kita harus mulai menyiapkan banyak hal untuk pesta pernikahan kita. Harus terlihat senatural mungkin. Bukan ide buruk juga untuk mengenal calon istriku sendiri lebih dalam, bukan? Tidak akan lucu jika kau harus ikut aku ke acara bisnis, lalu kita seperti orang yang tidak mengenal satu sama lain." Balas Jungkook, melirik kearahku lalu kembali ke telepon genggamnya.
"Aku tahu itu, Jungkook-ssi."
"Lalu, masalah Daejoon bagaimana?" Tanyaku."Tenanglah, semuanya butuh waktu, nona. Sudah kusampaikan pada kepala anak perusahaan. Aku masukan dia ke bagian marketing Haseon Shopping Mall. Masih dibawah kuasaku, tapi sudah seperti perusahaan independen. Mungkin malam ini dia akan di telepon." Jungkook menjawab pertanyaanku seperti itu bukanlah apa-apa.
"Baguslah, anak itu akhirnya bisa berhenti memikirkan hal-hal negatif." Balasku sambil tersenyum kecil.
Sedangkan Jungkook, ia mengernyitkan dahi dan bertanya lagi.
"Tampaknya Kim Daejoon sangat penting ya buatmu?""Dia adikku. Menurutmu aku tidak menyayanginya?" Hanya itu jawabanku.
Jungkook hanya diam sampai dering teleponnya memecah keheningan diantara kami berdua. "Aku angkat telepon dulu, kutunggu di ruang tamu, Hyejin-ssi."
"Eoh, hyung. Ini aku," selang beberapa detik, suara bariton Jungkook perlahan menghilang dibalik pintu, meninggalkan aku dan pikiranku disini.
Ini berarti aku akan menjalin hubungan lagi dengan seseorang. Walaupun bukan ikatan yang bisa disebut cinta, tetap saja ini sebuah pernikahan. aku jadi terus mengingatnya. Kadang, aku melihat kemiripan darinya dengan Jungkook.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑴𝑬𝑻𝑨𝑵𝑶𝑰𝑨 | Jungkook
أدب الهواةApa gunanya dua hati yang telah mati dipaksa saling mencintai? Untuk apa dan bagaimana hal itu bisa berhasil? Kedua hati itu telah binasa, tenggelam dalam kejamnya memori masa lalu. "Aku hanya membutuhkan status diatas kertas." "Kita tidak melibatka...