11

35 9 0
                                    

HARI itu juga, Lail diantar Navin ke depan pintu gerbang kompleks perumahan Raya. Dia berhasil melewati satpam penjaga gerbang kompleks yang telah mengenalnya dengan baik, sekarang dia sedang berdiri di depan pintu rumahnya dengan gemuruh yang hebat di dalam dadanya.

Tok tok tok.

Sekarang tinggal permainan menunggu. Permainan dimana dia akan menanti seseorang muncul dari balik pintu itu, orang itu tak lain adalah Raya sendiri.

Raya yang dia tolak semalam.

Tentu saja Lail tak menolaknya. Dia bilang jika dia belum siap. Hanya, senyum yang diberikan Raya ketika ia memberi jawabannya membuat Lail merasa ia telah mengambil langkah yang salah kala itu, dan benar, dia memang salah.

Maka detik ini juga, dia berniat memperbaiki kesalahannya itu.

Pintu dibuka tak lama kemudian. Sosok Raya muncul menyambut kedatangan Lail. Cowok itu, seperti biasa dengan tatapan matanya yang teduh, namun menenggelamkan. Mengingatkan Lail bahwa ialah tempatnya kembali pulang. Teduhnya yang ia mau menaunginya. Selalu.

"Ray... Raya," Lail seketika gugup. Ditatap seperti itu membuat kakinya lemas. Ada apa dengannya, ayolah, paling tidak dia harus berkata sesuatu.

Mereka berlama-lamaan seperti itu. Hanya saling menatap satu sama lain dalam diam. Saat momen itu mulai kelihatan seolah akan berlangsung selamanya, Raya tidak lagi diam, dia menangkap kegugupan Lail dan bergerak mendekati gadis itu.

"Ada apa, hmm," tanya Raya yang lebih seperti gumaman. "Lo nggak biasanya malu-malu kucing gini."

Ah, tak usah ditanya lagi seberapa merah pipi Lail mendengar bisikkan Raya barusan. Mana Lail yang jaim, hilang begitu saja dihapus oleh keberadaan Raya yang sangat dekat dengannya.

Meski dia telah terbiasa dengan Raya, terbiasa berada di dekatnya, Lail tahu betul apa ini yang dirasakannya. Karena dia tak datang hanya untuk melihat Raya, tapi untuk menyampaikan sesuatu yang akan merubah segalanya ke arah yang berbeda. Sesuatu yang akan merubah mereka.

"Maafin gue, Ray," Lail berkata dengan kepala tertunduk. "Waktu lo bilang lo sayang sama gue..."

"Gue sayang sama lo." Raya mengangkat dagu Lail agar gadis itu menatapnya. "Jangan bilang waktu itu. Gue selalu sayang sama lo. Gue bakal bilang lagi, berapa kali pun yang lo mau, dan gue nggak akan bosan ngelakuinnya."

Tuhan, jantung Lail tidak kuat. Dia tidak tahu berapa lama lagi dia akan pingsan karena tidak harus berbuat apa jika Raya begitu manis padanya.

"Ma... maafin gue, Ray. Gue... karena gue... cuma bisa ngasih lo kalo gue belum siap sebagai jawaban... padahal..."

"Gue tahu," ucap Raya, membuat Lail seketika mendongak. "Jadian atau nggak, gue bahagia kalau lo bahagia. Gue sayang sama lo, Lail. Gue harap lo tahu itu nggak akan berubah."

Lail menarik nafas dalam-dalam. Kalimat selanjutnya sudah ia latih selama beberapa waktu ke belakang. Dengan satu kalimat ini, maka segalanya akan berubah. Untuknya, dan untuk cowok yang saat ini berada di depannya.

"Gue mau jadian sama lo."

Lail mengerjapkan matanya, tidak, dia tidak boleh gugup sekarang. Dia tidak boleh mundur. Dia harus mempertahankan keputusannya.

Cintaku Hilang (Rewriting)Where stories live. Discover now