22

12 1 0
                                    

"Oi, Lail!"

Lail sedikit tersentak mendengar namanya dipanggil di tengah jalannya kembali ke kelas dengan Raya. Dari datangnya sumber suara, Dewa terlihat berlari untuk menghampirinya.

"Eh, sorry, bro. Lailnya mau gue pinjem, boleh kan?" Dewa menggaruk bagian belakang kepalanya, langsung tidak enak lantaran melihat Raya di samping Lail.

Heran juga gue sama nih orang, Raya tingginya udah kayak tiang listrik gitu masa masih kelewatan?

Lail terkekeh sendiri dalam hati, sementara itu Raya di sampingnya mengernyit heran.

"Pinjem, pinjem aja lo. Mau lo apain cewek gue?"

Dewa menggaruk bagian belakang kepalanya salah tingkah.

"Anu... gue mau ngomong sebentar. Eh, tapi kalo entaran juga nggak apa-apa, deh."

"Udah, udah," Lail menonjok bahu Raya yang malah tertawa melihat Dewa jadi keringetan di tempatnya.

"Lo kayak ada dosa aja sama gue, De," ledek Raya.

"Nggak ada, sih. Tapi kalo sama gue dosanya udah numpuk."

Beneran couple macem neraka, batin Dewa.

"Udah, sana balik ke kelas," suruh Lail.

"Oke, oke," Raya berjalan gontai meninggalkan Lail dan Dewa di depan kelas mereka. Namun, dia menyempatkan untuk berhenti di tengah lorong untuk melakukan sesuatu.

"Dadah, bebeb. Love you," seru Raya sambil mengedipkan mata, meninggalkan TKP.

"Apa?" Lail bertanya jutek melihat Dewa yang mengangkat-ngangkat alisnya di depannya.

"Jadi? Gimana lo sama Raya?" Cowok itu menelengkan kepalanya ke arah kemana Raya baru saja pergi.

Basa-basi, nih, ceritanya? Ladenin, jangan? Lail membatin, tak yakin hal ini adalah yang sebenarnya ingin dibicarakan Dewa.

Tak ambil pusing, Lail melipat tangannya di depan dada. Baiklah, jika cowok itu menjawab pertanyaannya dengan bertanya balik, maka dia akan mengulang saja gerak-geriknya.

"Apanya yang gimana?"

"Ya... lo berdua udah sejauh mana?"

Pertanyaan Dewa sontak membuat darah Lail berdesir semua menuju wajah terutama pipinya.

"Ma... maksud lo...?" tanyanya hati-hati.

"Ya, maksud gue, semenjak jadian gimana? Lo udah kencan, gitu? Ada yang berubah dari hubungan lo?"

Oh, untunglah! Karena Lail sudah sedekat ini untuk menampar Dewa barusan.

Tampaknya, ekspresi Lail yang langsung berubah lega tak terlewatkan oleh Dewa.

"Emangnya, lo ngira maksud gue gimana?"

Dewa berlagak pura-pura bodoh. Padahal, senyuman jahil nan menggodanya sudah terplester di bibirnya. Makin membuat Lail kesal saja, apa seharusnya ia bantai saja tadi cowok itu?

"Kepo," Lail yang sudah malas melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas untuk menyembunyikan saltingnya.

Lail, Lail. Pikirannya harus dibasuh air wudhu dulu sepertinya.

"Ayolah, La. Gue, kan, konsultan cinta lo. Lo bisa ngasih tahu gue," bujuk Dewa di tengah mengejar Lail ke depan pintu.

"Emang lo beneran mau tahu?" gumam Lail dengan nada terdatarnya.

Padahal, dia sudah senyam-senyum sendiri, mengetahui Dewa yang di belakangnya tak dapat mengamati suasana wajahnya sekarang.

Apa-apaan? Konsultan cinta?

"Pasti mau, lah. We're a team, remember? Udah bagian dari tugas gue buat bantu lo, seperti yang lo lakuin buat gue ke..."

"Jadi, ini yang mau lo omongin tadi?" tebak Lail. "Lo mau konsul lagi masalah Audy?"

"Ng... ya, nggak juga, sih," ujar Dewa.

"Gue pengen minjem buku cetak Bahasa Jerman lo, cuma nggak enak kalo di depan Raya gue mintanya. Nanti gue disangka berabe lagi, kerjaannya minta contekkan sama ceweknya."

"Emang lo berabe."

"Seriusan, gue mau bantu lo. Lo nggak hargain usaha gue? Katanya, gue banyak dosa sama lo."

Dari tampang Dewa, cowok itu memang sedang serius. Lail menggunakan kesempatan ini untuk menggoda Dewa, teringat akan pertanyaan andalan Dewa yang menjadi jalan ninjanya.

"De, lo marah sama gue?"

"Bacot."

Puas meledek Dewa, Lail merasa sudah cukup. Dia menyerahkan Dewa buku cetak Bahasa Jermannya yang diambilnya dari kolong meja.

"Gih, kerjain. Keburu Frau Tira masuk kelas."

"Seriusan? Ikhlas, nggak, nih?"

"Ikhlas, lah. Mana pernah, sih, gue durhaka sama temen sendiri."

Dewa hanya memberi Lail tatapan yang seolah mengatakan gaya lo, namun dia telan juga. Sama-sama teman durhaka harus impas, begitu pikirnya.

"So? Kapan, nih, next date-nya?" Dewa bertanya sambil menyalin di samping Lail.

"Minggu depan, bareng kakaknya Raya dan pacarnya. Bang Radit, namanya. Dia tutor Bahasa Jepangnya Deva."

Dewa yang menyalin di samping Lail memberinya tatapan menyelidik.

"Double date?"

Lail mengangguk.

"Besok-besok, jangan mau," ucap Dewa. "Gimana, sih, itu Raya? Masa kencan pertamanya sebagai pasangan double date?"

"Gue nggak masalah, beneran. Gue dan Raya juga udah sering jalan berdua."

"Tapi ini beda, bego. Lo nggak mau kencan resmi pertama lo yang lebih romantis dikit, gitu? Kayak di novel-novel."

"Ini bukan di novel, De. Ini dunia nyata. Gue nggak ngarep segitunya," Lail terkekeh geli.

"Lo bilang gitu, tapi lo sendiri penulis novel Romance," ujar Dewa. "Jangan bilang ke gue lo nggak menginginkan kisah cinta lo sedikit kayak yang ada di sana? Setidaknya, doi bisa mencoba simulasiin yang kayak gitu buat ceweknya sendiri."

Lail sedikit tidak menyangka Dewa mengingat detail itu tentangnya. Fakta bahwa Lail sedang menulis novel ber-genre Romance. Sesuatu di dalam dirinya merasa senang diperhatikan seperti itu oleh Dewa.

"Gimana, sih, tuh Raya? Nggak bener jadi cowok," Dewa geleng-geleng kepala, masih ngedumel sendiri.

"Serius, gue suka sama Raya apa adanya. Mau kencannya di pinggiran got juga nggak masalah gue."

Tentunya, Lail tahu betul maksud Dewa yang sebenarnya baik. Lail memang suka dengan Raya apa adanya, tapi menjadi bagian dari kisah-kisah cinta seperti yang ada di novel

"La, lo tuh aturan cari cowok yang bagusan dikit.

"Bagusan dikit? Kayak siapa tuh maksud lo?"

"Ya... yang kayak gue, gitu, misalnya."

Benarkah jantung Lail baru saja melampaui satu detakkan?

"Terus? Ada yang berubah dari hubungan lo? Ya, selain bebeb-bebeban dan sayang-sayangan kayak tadi."

Lail berpikir sebentar.

"Raya masih belum mau terbuka sama gue."

Cintaku Hilang (Rewriting)Where stories live. Discover now