19

32 6 0
                                    

"TAPI, sepertinya gue udah keburu dibalap sama lo."

Alis Deva bertaut. Dia menemukan dirinya tidak memahami yang dinyatakan Dewa barusan. Dewa sendiri tidak berlama-lama untuk meneruskan maksudnya.

"Papa pasti bangga banget sama lo, sementara gue? Cita-cita gue tinggi, tapi bahkan gue nggak bersanding di level yang sama. Lo udah selangkah lebih dekat lagi buat ngewujudin keinginan papa buat punya penerus."

Mungkin Dewa tak tahu bahwa secara tidak langsung ini bentuk percakapan hati ke hati yang biasanya dimiliki kakak-adik. Mungkin Dewa tak tahu bahwa Deva pun dapat merasakan apa yang dirasakan kakaknya. Inikah yang membuat Dewa begitu dingin kepadanya sebelumnya?

Karena... Dewa melihatnya sebagai saingan?

"Lo."

Dewa sudah maju beberapa senti. Kini jarak di antara dirinya dan Deva hanya dibatasi oleh telunjuk Dewa yang ditempatkan di dada adiknya. Kesungguhan tercetak di tatapannya.

"Kasih tahu gue gimana caranya biar gue bisa setinggi itu di mata papa."

Cukup lama sepasang kembar itu terdiam, hanya saling menatap satu sama lain. Di dalam pikirannya, Deva sedang sibuk merangkai kata-kata. Dia tahu dia harus berhati-hati dalam berbicara dengan Dewa, untuk itu dia harus menjaga emosinya sendiri. Karena dia tidak mau sampai kakaknya itu salah paham. Dia datang ke sini hari ini untuk berbaikan dengannya, bukan untuk memperburuk hubungan mereka.

"Gue... nggak lebih baik dari lo," Deva melihat lawan bicaranya ketika ia mengatakannya, namun yang diajak bicara seperti enggan. Apa karena wajah mereka yang terlalu mirip, dan semua ini masih baru untuknya?

Padahal, bukan hanya Dewa yang menyimpan segudang pertanyaan. Deva juga ingin mengenal lebih jauh saudara kembarnya. Banyak sekali yang ingin dia tahu tentang sosok yang berwajah persis dengannya itu.

"Papa juga bangga sama lo. Papa juga mau lo sukses sebagai calon dokter gigi penggantinya nanti di keluarga kita. Itu semua karena Papa sayang sama lo dan gue. Sama Bang Galih, sama Kak Icha juga. Kita semua anak-anak papa yang bisa dibanggain."

Dewa memang bungkam. Tapi, dalam hatinya dia berkecamuk. Semua yang barusan dikatakan Deva terdengar seperti bullshit. Sialan, apa anak ini tidak menganggapnya serius? Apa dia berpikiran ini hanya main-main untuknya? Apa dia sengaja mengatakan hal-hal yang dia tahu Dewa ingin dengarkan?

Kurang ajar. Padahal, Dewa sudah bersungguh-sungguh.

"Papa nggak punya anak favorit. Mungkin papa punya cara yang berbeda buat nyampein kasih sayangnya, tapi pegang omongan gue, Papa nggak akan pilih kasih..."

"Jaminan apa yang membuat gue harus percaya sama omongan lo?"

Pada akhirnya Dewa tak dapat menahannya lagi. Nada yang barusan diambilnya kembali sinis. Tangannya terkepal, dan dadanya bergemuruh dengan emosi.

"Gue tahu papa jauh lebih memilih keluarga barunya, dan gue sadar kalau selama ini... gue cuma bisa mengecewakan papa. Sekali aja... dalam hidup gue, gue juga mau dibanggain sebagai anaknya."

"Jadi, kalau memang gue sama lo setara di matanya, kenapa dia ninggalin gue dan memilih lo? Kenapa? Gue kalah apa? Apa ada sesuatu yang salah sama gue? Kasih tahu gue, salah gue dimana?"

"Kenapa cuma lo yang tahu tentang keberadaan gue, tapi gue sendiri nggak tahu apa-apa? Haruskah gue selalu berada selangkah di belakang lo? Berdiri di bayang-bayang lo? Apa karena itu gue harus nerima aja kalo cuma ketidakadilan yang berpihak sama gue?"

Dewa menyentak begitu saja. Pada saat itu, ia tidak memikirkan konsekuensi dari ucapannya sendiri. Semua keluar begitu saja bibirnya tanpa disaring.

Cintaku Hilang (Rewriting)Where stories live. Discover now