15

38 8 0
                                    

"LO nggak apa-apa?"

Lail tidak menyadari, bahwa sedaritadi Riani memanggil-manggil namanya. Cewek itu sudah berada di sampingnya, dengan tampang prihatin yang terplester di wajahnya yang terbiasa memasang senyum yang menawan.

"Padahal... Gue nggak bermaksud... Arka..." Lail menggigit bibirnya, menahan dirinya dari mengatakan apa-apa lebih lanjut.

Lail bisa terisak di depan Riani saat itu juga jika dia tidak menguasai dirinya. Dia harus melakukannya. Karena Lail harus tegar, dia harus terlihat sekuat mungkin, setidaknya di mata orang lain. Dia tidak mungkin membiarkan mereka melihat sendiri sisinya yang rapuh. Seperti masalahnya hanya miliknya untuk diselesaikan, kelemahannya hanya miliknya untuk disaksikan.

Tatapan Riani mengiba. Dia menaruh satu tangannya di pundak Lail sambil berbisik pelan, "Maaf."

Sungguh, Lail tidak mau memercayainya. Masih ada harapan yang kuat dalam dirinya yang mengatakan padanya bahwa dia tidak boleh percaya begitu saja. Dia belum bisa diyakinkan kalau ini semua benar, kecuali jika dia mendengarnya dari Arka sendiri.

Tapi, kelakuan sudah berbicara, dan ia bicara lebih lantang dibanding kata-kata yang Lail baca dalam pesan Arkana. Arkana membencinya. Cowok itu sudah membuatnya menunggu selama hampir dua jam hanya untuk tidak menemuinya dan paling tidak membicarakan ini empat mata. Padahal, Lail paling tidak ingin diberi kesempatan untuk memberi penjelasan yang datang dari sudut pandangnya pada Arkana.

"Jangan. Ini bukan salah lo," Lail dengan halus meremas tangan Riani yang ada di pundaknya, lalu menurunkannya dari sana.

"Gue... harus pergi. Ini udah sore," Lail membalikkan tubuhnya, dan memberi satu lambaian terakhir untuk Riani. "Gue duluan. Makasih."

"Oh, iya... Hati-hati."

Tentu saja Lail ingin sekali menyalahkan Arkana. Bukan hak cowok itu untuk mendikte langkah yang akan diambilnya. Hanya karena Lail memiliki rasa lebih dari teman untuknya, bukan berarti gadis itu memanfaatkan hubungan pertemanan mereka dengan harapan mereka akan menjadi sesuatu yang lebih.

Tapi, masih ada juga bagian yang merasa bahwa ini semua salahnya. Ada bagian dari dirinya yang masih mau membenarkan semua yang diucapkan Arkana kepadanya. Ya, semua, bahkan ketika rangkaian kata cowok itu tepat sasaran dalam menyakitinya.

Tapi makin ke sini, justru gue jadi mikir kalo lo nggak pantes.

Lo udah nggak layak gue sebut sebagai teman lagi.

"Lail!"

Kaki Lail yang berpijak pada bumi tidak lagi lanjut melangkah. Dia berhenti di tempat ketika merasa namanya dipanggil.

"Gue nggak tahu apa yang Arka sampaikan ke lo, tapi jangan salahin diri lo!" Suara yang bersumber dari balik punggungnya itu berkata lantang. "Kalo gue jadi Arka, yang pasti gue nggak bakal nyia-nyiain lo sebagai teman."

Lail memejamkan matanya. Nafasnya ia tarik dalam-dalam, sekuat tenaga bertahan. Ini bukan tempat dan waktu untuk terlihat lemah.

Dia pun ingin memercayainya. Percaya bahwa ini bukanlah salahnya, tapi untuk saat ini, bukan itu yang ingin didengarnya. Bukan. Karena, saat ini, tidak ada yang ingin ia dengarkan. Satu-satunya hal yang ingin dilakukannya sekarang adalah mencari cara untuk dengan cepat menghilangkan rasa hampa di dadanya. Rasa yang muncul bersamaan dengan putusnya tali persahabatannya dengan Arkana.

Lail hanya menyayangkan fakta bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa, dan harus mempelajari sendiri sakitnya kehilangan seorang teman lewat cara yang tersulit. Jika dia tahu akan sesakit ini berteman dengan tambatan hatinya, maka sudah jelaskah apa yang akan ia lakukan jika dia bisa mengubahnya?

Cintaku Hilang (Rewriting)Where stories live. Discover now