8

39 8 0
                                    

DUA hari kemudian, Lail datang kembali ke rumah sakit. Hari itu libur. Setelah kunjungan pertamanya kemarin, gadis itu tak berhenti chat-an dengan Dewa. Mereka mengobrol banyak layaknya dulu waktu mereka masih sebangku. Ia merasa hubungannya dengan cowok itu kian membaik.

"Gue bawa Bearbrand," Lail menyapa Dewa yang kali ini sudah bukan lagi dalam keadaan menengok keluar jendela. "Yang kemaren udah habis, kan? Gue bawa lagi, nih..."

Ucapan Lail terputus melihat cowok itu tak kunjung bereaksi, masih menatap layar HP dengan tatapan tak terbaca.

Lail meninggalkan kantong plastik berisi beberapa kaleng Bearbrand dan buah-buahan di atas kulkas, kemudian menghampiri Dewa.

"Gue ganggu Audy, ya, sampai chat gue yang dari kemaren aja belum di-read?"

Merupakan kalimat pertama yang dilontarkan Dewa kepadanya pada kunjungan keduanya itu

Entah mengapa, Lail merasa sedikit terganggu mendengar nama Audy. Hanya Audy, dan Audy lagi. Lail paham betul atas perasaan Dewa, tapi jika nama itu hanya membuatnya merasa semakin buruk, mengapa ia terus memikirkannya?

Tapi apa boleh buat, Lail tak berhak atas apa yang dirasakan cowok itu dan ia sendiri belum tahu apa yang membuatnya merasa seperti ini. Gadis itu duduk di tepi ranjang, di sebelah Dewa, sambil ikut melihat chat yang terpampang di layar HP Dewa.

"Setahu gue, Audy itu les piano setiap hari Sabtu. Nanti juga dibales, nggak usah galau."

Mendengar ucapan Lail, cowok itu menatapnya penuh harap.

"Jadi, menurut lo gue nggak ganggu dia?"

"Nggak," jawab Lail mantap, meyakinkan Dewa yang semula galau dan ragu.

Cowok itu kembali bersemangat, melihatnya entah kenapa sesuatu di dalam Lail menghangat. Ada apa dengannya? Lail berusaha membuang pikirannya jauh-jauh, walau sebenarnya cukup mengusiknya.

Pintu ruang rawat inap terbuka, sesosok cowok masuk ke dalam, otomatis bersitatap dengan Lail. Seketika ekspresinya berubah jenaka melihat pemandangan di dalam.

"Oh, ini pacar lo yang diomongin Mama?"

Setelah diperhatikan, cowok itu memiliki wajah yang mirip dengan Dewa, bahkan senyumnya bersirat ciri khas cowok itu. Sepertinya Lail pernah melihatnya di foto-foto galeri Dewa. Tak salah lagi, cowok itu abangnya Dewa.

"Berisik lo, Bang," Dewa memutar bola matanya, kesal melihat abangnya itu merusak suasana. Padahal, ia baru bersenang-senang barusan.

Reaksi Dewa berbeda dengan Lail. Cewek itu justru bersemu merah di tempat, kembali salah tingkah mengingat kejadian dua hari lalu saat kunjungan pertamanya ke rumah sakit. Dewa mengakuinya sebagai pacar di depan mamanya. Lail sebetulnya tak begitu memikirkannya sejak itu, tapi karena kembali diingatkan gadis itu jadi dibuat bertanya apa yang sedang dipikirkan cowok itu ketika melakukannya.

"Siapa, nih, namanya?" Abangnya Dewa mengajaknya berkenalan.

"Lail, Bang," Lail menyambut tangan cowok yang lebih tua itu.

"Gue abangnya Dewa, panggil aja Bang Ipar."

Lail hanya memasang cengiran salah tingkah, sambil sudut matanya kembali melirik ke arah Dewa. Lagi-lagi cowok itu tengah menatap layar HP dengan ekspresi galau. Secuek itukah cowok itu dengan situasi di depannya? Lail sudah kebanyakan salah tingkah beberapa hari ke belakang, karenanya.

Dasar! Lo yang asbun, malah gue yang kena batunya.

"Temen-temen lo yang lain mana, De? Nggak dateng?"

Cintaku Hilang (Rewriting)Where stories live. Discover now