Clak... clak... clak...
Ia memperhatikan tetes air yang turun dari celah atap yang bocor, kemudian mengalihkan pandangannya ke sekitar, melihat sebuah lorong gelap yang begitu asing. Dindingnya bahkan sudah berlumut dan lantainya digenangi air yang ia duga berasal dari celah atap bocor tadi.
Pikirannya mulai mengingat-ingat tempat kumuh ini, mencoba mengingat ada di mana sebenarnya ia berada. Tapi sayangnya, sedalam apapun ia menggali pikirannya, ingatan tentang tempat ini tidak ada dalam memori kepalanya.
Ia jelas ingat betul kalau ia belum pernah ke sini sebelumnya. Jadi, ia tidak tahu di mana ia sekarang. Dan untuk mencari tahu hal tersebut, tentu ia harus menelusuri lorong suram yang menyeramkan ini. Maka dari itu ia mulai melangkah, berjalan lurus menembusi setiap kegelapan yang ada, membiarkan sepatu dan kaos kakinya basah terkena genangan air.
Sementara kakinya terus melangkah, manik mata biru safirnya tak henti memperhatikan sekitar. Berusaha mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk, atau seseorang yang bisa ia tanyai. Hanya saja sejauh ia melangkah masuk ke dalam, tidak ada apapun yang ditemuinya. Manusia, hewan, tumbuhan, bahkan serangga pun tak kunjung menampakkan keberadaannya. Hal tersebut membuatnya berpikir bahwa sepertinya ia memang sendirian di sana. Terjebak di tempat antah berantah tak berpenghuni.
"Apa seseorang menculikku dan mengurungku di tempat ini?" Ia mencoba memikirkan alasan paling logis.
"Tapi untuk apa dia menculik seorang pengecut sepertiku?" Ia jadi ragu, "Jika mereka menculik adikku itu lebih masuk akal."
Sembari berjalan ia terus bergumam, berbicara pada udara lembab yang tidak bisa merespon ucapannya. Hingga sesuatu yang tertulis di dinding berhasil mengalihkan pikirannya dari semua pendapat tidak logis yang sedang ia pikirkan. Sebuah tulisan yang ditulis menggunakan sesuatu berwarna semerah darah. Atau mungkin itu memang darah?
Ia memandangi tulisan itu sambil mengusap dagu, mencoba memahami maksud dari tulisan tersebut. Sayangnya ia bukan orang jenius yang bisa dengan mudah memahami tulisan penuh makna seperti ini.
"Apa maksudnya?"
Dan di tengah lamunannya memikirkan makna dari tulisan di dinding, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara. Sebuah suara yang bergema memenuhi lorong, sebuah suara yang terdengar tidak terlalu jelas.
"-via."
Karena penasaran ia pun memutuskan untuk mengikuti asal suara itu. Menelusuri lorong semakin dalam hingga suaranya kini mulai terdengar jelas.
"Luvia."
Langkahnya menjadi lebih cepat ketika ia tahu bahwa suara tersebut menyerukan namanya. Jantungnya sedikit berdebar karena saking penasarannya pada orang yang memanggil-manggil namanya itu.
Namun semakin ia mendekati sumber suara, perasaan takut kini muncul. Perasaan takut yang membuat tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Sebuah perasaan takut yang membuat pikirannya dan hatinya tidak sejalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystika Nyctophilia
FantasySetiap orang pasti memiliki hal misterius yang berbeda-beda. Dan bagi Luvia, hal termisterius dalam hidupnya adalah Elinus Corner. Kakak senior tingkat tiga yang lebih sering muncul saat malam hari. Kebetulannya lagi malam itu ketika Luvia mengendap...