Jika ada yang bertanya tentang hobi, Luvia senang memperhatikan langit. Terlebih lagi saat penampilannya sangat menarik seperti sekarang. Awan putih di atas sana kini tampak lebih aesthetic kala bayangan dari cahaya mentari sore membuatnya menghitam sebagian. Di saat seperti itu, Luvia selalu membayangkan bisa melihat kastil super megah di baliknya.
Setelah kelas sore berakhir, alih-alih kembali ke asrama, Luvia justru malah berdiam diri di taman belakang sekolah. Duduk di kursi panjang dekat pohon elm sendirian, memandangi langit tanpa bosan.
Sampai-sampai, Nellson yang baru datang merasa kebingungan kala melihat Luvia sedang menengadahkan kepalanya ke atas seperti ikan saat diberi makan. "Apakah kepalanya tidak pegal diam dalam posisi seperti itu?" gumam Nellson yang kini merasa lucu melihat tingkah Luvia. Gadis yang rambutnya diikat dua itu memang selalu di luar dugaan.
Namun, saat teringat kembali dengan tujuannya datang ke sana, Nellson cepat-cepat menghampiri Luvia dan duduk di sebelah gadis itu. Sayangnya Luvia sama sekali tidak menyadari keberadaan Nellson. Ia masih senantiasa diam memandangi langit sore yang mulai menggelap.
Melihat itu, Nellson melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Luvia. Mencoba memberitahu gadis itu bahwa ia ada di sana dan minta di-notice. Karena Luvia masih bergeming tanpa respon, akhirnya Nellson bangkit dari duduk dan berjalan ke belakang Luvia, lalu melongokkan wajahnya sehingga kini wajah mereka berdua berhadapan dalam posisi yang berlawanan.
Seketika Luvia mengernyitkan dahinya, merasa terganggu dengan penampakan barusan. Kemudian lekas menegakkan kepala agar tidak lagi melihat wajah Nellson yang masih saja menatapnya tanpa ekspresi. "Apa yang kau lakukan?" tanya Luvia yang akhirnya memberikan respon.
Nellson yang akhirnya di-notice tersenyum lebar seraya buru-buru duduk di sebelah Luvia lagi. "Harusnya aku yang bertanya, apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?" tanya Nellson membalikkan pertanyaan.
Luvia mengerjapkan matanya berulang kali karena kini penglihatannya sedikit memburam setelah memandangi langit dalam waktu yang lama. "Hanya menghabiskan waktu. Lagipula aku tidak sendirian."
Sebelah alis Nellson sontak naik sebelah. "Tidak sendiri? Lalu dengan siapa?"
"Kau." Luvia menjawab dengan santai, ia bahkan menyandarkan punggungnya tanpa beban seolah tidak pernah melakukan kesalahan apapun.
Padahal di sebelahnya Nellson sudah membatu akibat jawaban Luvia barusan. Ia kemudian berdeham kencang sebelum ikut menyandarkan punggung pada sandaran kursi taman. "Begitu ya," gumam Nellson pelan.
Selanjutnya, tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka berdua. Keheningan menyergap cepat seperti cahaya matahari sore yang ditelan langit gelap. Beruntungnya suara burung masih terdengar sehingga suasana nyaman itu tidak cepat berlalu.
"Bagaimana penyelidikanmu tentang Elinus?" Nellson bertanya lagi ketika ia tiba-tiba ingat pada rencana Luvia yang satu itu. Namun, sejujurnya Nellson tidak ingin membicarakan bintang sekolahnya yang satu ini. Entah kenapa perasaanya selalu menjadi tidak enak setiap kali membicarakan tentang Elinus.
Di sebelahnya Luvia menghela napas lesu. "Aku berhasil bertemu dengannya, tapi dia menolak menjadi mentorku." Semangat Luvia memudar karena rencananya belum ada yang berhasil. Padahal Ujian Hunting Yokai tinggal beberapa bulan lagi, tetapi ia belum mendapat perkembangan apapun dalam pelajarannya.
Nellson tersentak kaget mendengar bahwa Luvia berhasil bertemu dengan seorang Elinus Corner. Itu sungguh di luar dugaan. Mendadak saja, perasaannya jadi kecut. Meski begitu, Nellson tidak bisa menunjukkan perasaan tidak sukanya pada Luvia. "Bukankah bagus? Tak banyak orang yang bisa bertemu dengannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystika Nyctophilia
FantasíaSetiap orang pasti memiliki hal misterius yang berbeda-beda. Dan bagi Luvia, hal termisterius dalam hidupnya adalah Elinus Corner. Kakak senior tingkat tiga yang lebih sering muncul saat malam hari. Kebetulannya lagi malam itu ketika Luvia mengendap...