(2) Défteros; Bad Fate

1.7K 183 49
                                    

Celessa bingung. Benar-benar bingung. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan makhluk berkepala biru yang tiba-tiba saja menghilang tanpa permisi. Ia tahu betul Luvia adalah orang yang paling pandai melarikan diri. Tetapi setidaknya biarkan Celessa mengetahui alasan kenapa Luvia pergi begitu saja. Bukan bersikap seenaknya seperti ini.

"Dia pergi ke mana ya?" gumam Celessa sambil memperhatikan sekitar, seraya berharap semoga ia dapat menemukan makhluk berkepala biru itu di antara para murid yang berlalu-lalang.

Namun sayangnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan Luvia di sana. Entah ke mana gadis berambut biru itu pergi. Celessa sama sekali tidak dapat menemukannya. Hingga sesuatu yang bergerak mendekat membuat kedua alis Celessa naik. Seseorang tampak berjalan dengan tergesa ke arahnya. Di raut wajahnya sudah tergambar jelas ekspresi khawatir yang kentara.

Dari sana Celessa langsung menyimpulkan bahwa orang inilah yang menjadi penyebab Luvia pergi menghilang secara misterius.

"Kak Celessa!" panggil orang itu meskipun jarak mereka masih lumayan jauh.

Secara naluriah Celessa langsung tersenyum menyambutnya. "Aveo! Hai!" sapanya sembari melambaikan tangan.

Begitu sampai di hadapan Celessa, orang yang dipanggil 'Aveo' ini sontak celingak-celinguk seolah sedang mencari sesuatu. Atau lebih tepatnya, sedang mencari seseorang. Dan Celessa sudah tahu jawabannya.

"Apa kau melihat kakakku?" tanya Aveo masih dengan napas ngos-ngosan. Manik amber-nya melirik ke sana-kemari berharap dapat menjumpai sosok berkepala biru yang dicarinya. "Aku pergi ke kelasnya tapi dia tidak ada," lanjutnya menjelaskan.

Entah kenapa melihat tampang merana Aveo sekarang membuat Celessa merasa kasihan. "Sayangnya dia sudah pergi beberapa detik yang lalu," jawab Celessa prihatin.

Seketika Aveo mengembuskan napas kasar. "Begitu ya, jadi dia sudah melihatku."

"Aku tidak yakin." Celessa menggelengkan kepala, mencoba menghibur dengan memberikan penyangkalan pada sesuatu yang sejujurnya sudah pasti. Berbohong memang sikap yang buruk, tapi jika berbohong bisa memperbaiki ikatan antar saudara yang renggang, Celessa akan melakukannya.

"Mungkin dia mempunyai urusan yang mendesak. Positif thinking saja," ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Aveo memberi semangat.

Aveo tampak ragu, meski begitu ia tetap tersenyum. Menghargai semua yang diucapkan gadis berambut merah muda di hadapannya. Jika Celessa yang mengatakannya, Aveo akan berusaha percaya. Meski pada kebohongan sekalipun.

"Kuharap begitu," Aveo yang pasrah akhirnya mengangguk.

Lantas dengan akrab Celessa merangkulnya, membawa pergi pemuda berambut cokelat tersebut dari sana. Setidaknya meskipun tidak ada Luvia, Celessa sudah menemukan teman untuk pergi ke kafetaria.

Sementara itu di tempat lain, seorang gadis berambut biru yang dikuncir dua tampak berlari tergopoh-gopoh seakan sedang dikejar sesuatu. Wajahnya yang pucat makin pias karena panik. Sesekali ia melirik ke belakang seraya berharap semoga tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Untungnya harapan Luvia terkabul, tidak ada tanda-tanda seseorang yang mengikutinya.

Karena lelah akhirnya ia berhenti, lalu duduk lesu di kursi taman yang kebetulan sedang sepi. Gadis tersebut menyandarkan punggungnya yang lelah, menarik napas sebanyak-banyaknya.

Ternyata menjadi manusia pengecut pun melelahkan juga. Luvia hanya baru menyadarinya sekarang. Setelah semua kesialan ini, otak Luvia yang lamban baru berhasil mencernanya.

"Argh! Sial!" umpatnya entah untuk yang keberapa kalinya di hari itu.

Satu tangannya tergerak untuk mengusap peluh di dahi, sedangkan matanya kini fokus memperhatikan daun maple yang bergerak-gerak tertiup angin musim semi. Untuk sesaat Luvia terlena oleh kesejukan yang diberikan tempat itu.

Mystika NyctophiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang