1. Kucing Bang Gema

4.9K 459 19
                                    


"Bang."

Tangannya dihempas keras. Sedang yang memanggil barusan panik bukan main saat sang kakak menjauh darinya.

"Lepasin tangan lo." Gema mendesis. Tangannya dengan erat menggendong makhluk berbulu bulat yang dia namai Mengky itu.

Egi tidak bermaksud. Dia betulan tidak bermaksud melempar Mengky ke lantai. Tadi anak itu sebenarnya tengah mencoba menggendong kucing sang abang -untuk pertama kalinya, sebab Egi itu penakut bukan main dengan kucing -tidak tahu kalau Mengky ternyata tak nyaman dan mencakar tangan kirinya.

Egi bersumpah kalau dia hanya reflek. Tapi abang tidak mau percaya.

"Itu alasannya gua gapernah izinin lo buat pegang anabul gua," kata Gema ketus sebelum membanting pintu kamar milik sang adik.

Egi diam di sana. Tidak lagi melawan atau memberi alasan walau dia sebenarnya mau teriak kesetanan.

Bukan salahnya, kan?? Dia 'kan, hanya ingin mencoba. Gema saja yang pelit dan kasarnya bukan main.

Cowok itu meremas rambutnya kasar. Sudah seminggu bertengkar dengan abang, dan terhitung dua hari mereka baru berbaikan. Tidak lucu jika masa satu minggu itu diperpanjang selama satu bulan.

Menghela napas keras, Egi agaknya memilih untuk tidak makan bersama malam ini.

***

Kediaman Janedi bukanlah tipe rumah yang besar dengan banyak ruangan, atau halaman rumah yang bersih tanpa semak-semak. Mereka hidup sederhana dalam kontrakan sepetak dengan ruang-ruang bersekat triplek yang dijadikan kamar dan dapur. Jadi, saat malam hari, Janedi perlu menyelipkan nampan-nampan bekas berisi obat nyamuk bakar yang sudah setengah bentuknya-sebab sudah dipakai tadi pagi -di tiap sudut ruangan.

"Adek udah makan?" Janedi bertanya saat dia berjongkok demi menaruh sebatang obat nyamuk di bawah kasur si bungsu.

Egi menoleh, "Belum, Pak."

"Kok belum?"

"Engga lapar," bohongnya.

Pria berusia setengah abad itu terkekeh. Badannya dia bawa duduk di atas dipan milik si bungsu. Kasur Egi berdenyit miris, tanda minta diganti tapi dia tau Bapak tidak ada uang.

"Kenapa? Berantem lagi ya, Adek sama Abang?"

Yang paling muda menggeleng. Tapi Janedi tau Egi berbohong.

"Kenapa lagi?" tanya sang ayah lembut.

"Kucing Abang." Egi menyodorkan tangan kirinya.

"Aku lempar. Tapi engga sengaja, Pak," lanjutnya.

"Sudah minta maaf?"

"Sudah."

"Bang Gema masih marah?"

"Masih."

Janedi ikut menghela napas.
"Sekarang Abang di mana?"

"Engga tau."

"Yasudah."

Dapat Egi rasakan saat sebuah tangan terulur menepuk-nepuk bahunya. "Jadi cowok itu jangan pengecut. Nanti Adek minta maaf lagi ke Abang, ya," kata Janedi sebelum berdiri dan menghilang di balik triplek kamar.

Benar saja. Tidak lama setelahnya, sebuah suara menyapa gendang telinga Egi.

Itu suara Bang Gema yang baru pulang. Egi tebak, sang Abang pasti keluar untuk merokok sebab bau nikotin itu menempel pada baju partai Bapak yang dipakai Abang.

Egi berdiri. Berjalan memutari triplek kamar yang menjadi batas antara kamarnya dan Gema.

"Bang, gue minta maaf."

"Heem." Gema menyahut.

"Heem?" ulang Egi. Yang dia butuh itu iya atau tidak, bukan heem.

"Iye, iye." Gema berdiri. Merespon tanpa menatap sedikitpun ke arah adiknya. Egi senang dimaafkan. Tapi hatinya berdenyut sedikit saat kalimat selanjutnya keluar dari birai Gema.

"Minggu lalu lo ngilangin hp gua dan sekarang lo kasar ke si Mengky. Gua udah ga begitu heran kalau ngeliat kelakuan lo yang ngeselin dan kadang gatau diri itu."

[][][]

Denandra Gemima

Denandra Gemima

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Egi Junandra

Egi Junandra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maaf Dari Egi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang