14. Dresscode

18 2 0
                                    

Raga Dinata POV

Matahari yang mulai terik membuatku harus kembali ke rumah setelah cukup lama berada di taman kota dan bertemu cewek yang cukup unik. Aku berjalan menyusuri komplek perumahan untuk menuju gang di sana.

Tin. Aku berhenti setelah mendengar bunyi klakson mobil di belakangku.

"Ayo bang!" Ucap seorang perempuan di dalam mobil

"Lho Mil, abis dari mana lo?" balasku pada adikku-Mila.

Aku masuk ke dalam mobil, dan Mila hanya melihatku heran.

"Lo tuh ya bang lari pagi udah kaya lembur, lama banget," oceh Mila sambil melajukan mobil merahnya.

"Ya terserah gue lah, emng lo dari mana?" Jawabku sambil terus menatap ponsel yang sudah di tanganku.

"Nih gue beli makanan buat ikan hias lo!"

Aku sontak terkekeh kencang dan menoleh ke arah Mila yang tampak begitu kesal.

"Ish bukannya terima kasih" tambah Mila.

"Heheh sorry gue lupa beli makanan buat ikan gue."

Aku masih terus tertawa sambil melihat adikku Mila yang terlihat kesal karena harus membeli makanan untuk ikan hiasku. Aku tahu kalau adik perempuanku itu sangat tidak suka dengan hobiku yang mengoleksi ikan hias begitu banyak di rumah.

Mobil kami pun sampai di rumah. Aku langsung keluar mobil dan berlari ke dalam rumah sambil membawa makanan ikan yang sudah dibeli Mila.

***

Aku masih harus menyelesaikan perkerjaan yang belum selesai. Hari liburku tidak terasa karena masih tetap harus berkutik dengan laporan-laporan perusahaan.

Selesai mandi aku langsung duduk di depan layar laptop yang sepertinya sudah menungguku dari pagi tadi, tugas yang banyak membuatku harus selalu bersama laptop hitamku. Tapi entah mengapa dengan hari ini, aku masih terus mengingat wanita bernama Aran. Wanita yang baru beberapa jam aku kenal namun berhasil mengambil seluruh pikiranku.

Rambut ungunya begitu nyata di otakku, cantiknya semakin terlihat ketika wajah dinginnya mulai menatap mataku.

"Aran si cewek ungu," ucapku tersipu malu hanya karena mengingatnya.

Aku masih terus menatap layar laptop tanpa berusaha menyentuh keyboardnya. Pikiranku masih bermain dengan wanita yang tadi aku temui di taman. Aku sama sekali tidak merasa bosan saat dirinya memasuki pikiranku walau dengan waktu yang begitu lama.

Jika aku harus menyukai segala hal di hidupku, mungkin dia yang akan aku sukai untuk selamanya.

"Bang!"

Suara Mila menghancurkan pikiranku, kulihat Mila yang sudah ada di ambang pintu kamarku.

"Apa?"

"Gue mau pergi keluar, lo gapapa kan sendirian?" tanya Mila.

"Ya udah sana, ganggu gue aja lo."

"Tapi mbok gak masak bang, jadi lo kalo mau makan pesen online aja ya,"

"Emang si mbok kemana?" tanyaku kaget setelah tahu tidak ada makanan yang bisa kumakan di rumah ini.

"Pulang kampung, dah gue pergi dulu," ucap Mila lalu pergi dari depan kamarku.

Sepertinya hari ini aku harus menahan lapar karena tidak ada yang masak di rumah ini.

Mila pun tidak bisa masak dan aku harus memesan makanan dari luar. Aku meraih ponselku untuk memesan makanan.

"Udah laper lagi." Aku berjalan ke arah dapur untuk melihat sesuatu yang bisa mengganjal perutku.

Aku membuka kulkas dan mataku hanya mendapatkan dua buah apel dan susu kotak di sana. Sebenarnya banyak bahan makanan seperti sayur, daging dan telur. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengolah itu semua, yang kutahu hanya mengolah telur itu pun dibuat telur mata sapi yang sederhana atau bahkan tidak jelas rasanya.

Aku berjalan ke arah ruang tengah dengan membawa satu buah apel di tanganku. Kududukan tubuhku di atas sofa hitam berukuran besar, sambil menunggu pesanan sampai aku menyalakan televisi dan menonton acara yang terpampang di sana.

"Kita gak perlu alasan buat suka atau mencintai sesuatu," ucapan wanita itu kini menghantui pikirakanku.

Di hidupku aku selalu punya alasan untuk apapun, apa lagi dalam hal menyukai sesuatu. Tapi menurut Aran justru sebaliknya, ia menyukai sesuatu tanpa sebuah alasan, bagaimana bisa?

Orang tidak mungkin menangis atau bersedih tanpa alasan, tapi dia dengan jelas berkata bahwa menyukai atau mencintai tidak butuh alasan.

"Gak masuk diakal," ucapku pada diri sendiri.

Tok tok tok

"Pesanan"

Aku langsung berjalan menuju pintu depan untuk mengambil makanan pesananku.

"Makasih Pak."

Aku kembali masuk dan menuju ke kamarku untuk menikmati satu kotak pizza ukuran besar.

***
Di tempat lain. Aran sedang menunggu Dina yang belum juga datang. Aran semakin bosan karena dirinya hanya duduk seorang diri dan ditemani segelas kopi dan kentang goreng.

"Ran udah lama?" ucap Dina yang baru saja sampai.

"Udah bosen gue nungguin lo," balas Aran.

"Sorry sorry tadi macet banget"

"Ya udah lo mau ngomong apa?" tanya Aran langsung ke Topik.

"Gini, kelas kita mau ngadain foto."

"Asikk dong," ucap Aran cepat.

"Tapi dresscode-nya....... merah," balas Dina ragu. Dina sudah menebak jika Aran akan tidak setuju dengan itu.

"Ah apaan gue gak setuju!" tegas Aran.

"Iya gue tau lo pasti gak setuju, tapi lo harus ikut Ran," jelas Dina panjang.

"Gak Din, gue gak mau pake baju merah ataupun warna lain selain ungu."

"Tapi ini udah kesepakatan Ran," balas Dina membujuk Aran.

"Kesepakatan kata lo? Jadi rapat kemaren bukan cuma pengurus kelas aja?!" tanya Aran bertubi-tubi.

"Hmm iya Ran, Mia gak ngebolehin gue ngasih tau lo tentang itu, tapi gue harus tetap ngajak lo buat ikut foto."

Aran hanya menggeleng kepala tanda bahwa dirinya kecewa. Dina yang tidak memberitahunya tentang rapat kemarin buat Aran semakin merasa marah.

"Kalo gitu gue gak ikut!" Aran melangkah pergi.

"Ran! Aran!" Teriak Dina dari belakang Aran.

Purple GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang