8. Aku tidak serapuh itu!

27 3 0
                                    

Dina : Ran lo pulang?

Aku membaca pesan dari Dina yang pasti merasa sangat khawatir dengan keadaanku.

Iya gue pulang, sorry ya Din

Aku kembali menatap jalanan dari jendela taksi yang aku naiki. Aku tidak sanggup lagi dengan semua ini terutama kejadian di cafe tadi hingga aku putuskan untuk pulang dari pada harus meluapkan amarahku di sana.

"Pak agak cepat ya," ucapku pada supir taksi.

"Iya mba"

Rasa kesal sudah menyebar dan membuat moodku semakin rusak. Kenapa aku harus melihat mereka berdua? Rasanya sakit, tapi aku sendiri tidak tahu bagian tubuh mana yang terluka.

Taksi yang kunaiki berhenti di depan rumahku, aku lansung turun dan masuk ke rumah.

"Ran dari mana?" tanya Mamah saat melihat aku baru pulang.

"Hmm cafe Mah," jawabku singkat.

"Oh sama Rian ya?"

Aku terdiam saat mendengar Mamah menyebut nama Pria itu.

Muak, satu kata yang terpikirkan kala aku mendengar namanya. Pria dengan kebohongan yang ia ucapkan untukku.

"Ran?"

"Eh e-enggak Mah, tadi aku sama Dina" ucapku setelah cukup lama terdiam dalam pikiranku.

Mamah ber-oh ria, namun kutahu kalau Mamah kecewa. Aku dapat melihat kalau Mamah sangat menyukai Rian.

"Udah ya Mah aku ke atas dulu" ucapku lalu meninggalkan Mamah.

Aku membuka pintu kamarku dan langsung menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Mataku menatap langit-langit kamarku yang berwarna ungu pudar. Hanya melihat warna itu aku sudah dapat merasa sedikit tenang.

Andai kamu tahu bahwa sumber penenangku yang sesungguhnya adalah kamu.

Drrrtt drttt

Ponselku bergetar, menampilkan Nama Rian di sana. Aku yakin dia sudah membaca pesanku dan aku menyesal mengirim pesan itu untukknya. Percuma aku minta maaf jika dia melakukan kesalahan lebih besar dari kesalahan yang aku lakukan.

Drrt drtttt

Rian kembali menghubungiku karena aku tak kunjung menjawab teleponnya. Tanpa pikir panjang aku langsung menon-aktifkan ponselku.

Aku yakin dia ingin meminta maaf padaku, tapi percuma aku tidak akan dengan mudah memaafkan kebohongannya.

Aku beranjak dari kasur dan melangkah ke arah meja rias. Aku dudukan tubuhku di kursi depan meja rias. Kaca di depanku dengan jelas memperlihatkan wajahku yang aku sendiri tidak tahu ekspresi apa yang terlihat di sana.

Marah, kesal, kecewa, muak dan sedih semuanya jadi satu kesatuan yang pasti susah untuk dihilangkan.

"Aku tidak serapuh itu," ucapku pada wanita di dalam cermin. Dan wanita itu adalah aku sendiri.

"Ran tidur, udah malem," ucap Mamah yang sudah berada di ambang pintu kamarku.

"Iya Mah," balasku pada Mamah.

Mamah kembali menutup pintu kamarku lalu kembali ke kamarnya.

Aku saat ini hanya tinggal berdua dengan Mamah. Papah harus kerja di luar kota, hingga aku sangat jarang melihat Papahku. Papah pulang sebulan sekali atau bahkan dua bulan sekali. Jauh dari Papah buatku tumbuh jadi wanita kuat dan tidak takut akan apapun. Termasuk dalam hal percintaa, aku bukan termasuk orang yang menganggap percintaan adalah hal utama. Karena menurutku sekeras apapun aku berpikir tentang cinta,  tetap saja cinta punya caranya sendiri untuk hadir di hati seseorang.

So, our job is just waiting for when love comes.

Purple GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang