Aran menguatkan kakinya untuk melangkah memasuki rumah dan melihat Rian yang sudah pasti ada di dalam sana. Dirinya harus kuat dalam menjalani ini semua, dua hari kemarin ia sudah menghilang, kini saatnya ia datang dan menerima segala yang akan terjadi di hidupnya, apapun itu.
Aran terus melangkah hingga kakinya benar-benar memasuki rumah dan matanya langsung disuguhkan sosok pria tampan yang sedang duduk di sofa sambil menatap ponsel.
Rian belum menyadari jika Aran sudah pulang karena ia sibuk melihat isi ponselnya.
"Ian," ucap Aran menyadarkan Rian."Udah pulang Ran?" Rian berdiri sambil menatap Aran yang masih di ambang pintu. Aran masih bingung harus bagaimana bersikap di depan pria itu.
"Hmm," balas Aran dengan diakhiri senyum kecil yang terlihat dingin. Aran melangkah namun melewati Rian, ia malah menuju tangga untuk langsung ke kamarnya.
"Dua hari kemarin lo kemana?!" ucap Rian dengan sedikit berteriak hingga suaranya menggema dan membuat Aran berhenti di tengah tangga.
Suara Rian terdengar seperti sebuah kekesalan yang baru dapat diluapkan. Ia berteriak dengan penuh emosi. Dan Aran tau betapa Rian menahan emosinya, Aran juga tau bahwa pria itu menunggunya sejak tadi.
"Gue gak kemana-mana, cuma butuh liburan." Aran kembali turun dan mendekati Rian yang masih berdiri. Tangan pria itu mengepal, dan itu cukup membuktikan bahwa ia memang sudah terlanjur kesal.
"Asal lo tau gue dua hari kemarin nyariin lo!"
Aran terdiam dengan tatapan kosong menatap dinding putih yang ada di belakang Rian.
"Aku lemah, aku tidak bisa melihat kamu bahagia dengannya, aku sekarang tau bahwa aku menyukaimu. Ini sudah sangat jelas." Hati Aran bergeming.
"Lo kenapa si Ran? Gue ngerasa kalau lo menghindar dari gue." Nada suara Rian sudah mulai merendah, ia mengerti bahwa ia tidak seharus meluapkan kekesalannya walaupun memang cukup kesal menunggu Aran yang dua hari kemarin hilang.
"Lo jadian lagi kan sama Keysi?!" Mata Aran terfokus pada mulut Rian, ia ingin melihat gerakan bibir pria itu saat menjawab pertanyaannya.
"Lo tau dari mana?"
Aran hanya membalasnya dengan senyum smirk sambil memalingkan matanya ke arah lain. Ternyata mulut pria itu menjawab pertanyaannya dengan jujur, tidak kah Rian mengerti perasaannya?
"Keysi sudah menjelaskan semuanya ke gue, dan ternyat-"
"Gue udah tau semuanya, lo gak usah repot-repot jelasin ke gue!" Potong Aran lalu berlalu meninggalkan Rian yang bingung melihat tingkah sahabatnya itu.
Dari kejauhan ada Shania-mamah Aran yang melihat perdebatan antara anaknya dengan Rian. Mata Shania terus mengikuti langkah Aran dan juga Rian yang mencoba mengerjar Aran. Dengan sekuat tenaga Rian berlari saat menaiki anak tangga. Ia ingin Aran menjelaskan semuanya.
"Tunggu Ran." Rian berhasil meraih lengan Aran, dengan cukup keras ia membalikan tubuh Aran agar menatapnya.
Aran tidak merespon, karena sekuat apapun ia, tetap saja Rian pasti akan lebih. Aran tahu betapa banyak pertanyaan di kepala Rian. Hingga Aran dan Rian harus berdebat di tengah deretan anak tangga.
"Jelasin ke gue, gue ada salah apa sama loh?!" Teriak Rian lagi. Suara itu terdengar sampai ke dalam hati Aran. Seakan teriakannya menguncangkan jiwa Aran yang saat ini sudah sangat rapuh dan hampir patah.
"Lo mending pulang," Aran menepis tangan Rian.
"Sumpah gue gak ngerti sama sikap lo, dua hari kemarin lo ngilang gitu aja, dan sekarang lo marah-marah gak jelas sama gue, lo seakan ngejauhin gue Ran. Lo tau gak sih kalo gue kesel sama sikap lo yang kaya gini!"
"Jangan urusin gue, urusin aja Keysi. Dia pacar lo kan?" Aran memalingkan wajahnya untuk menutupi kecemburuannya. Aran belum siap jika perasaannya diketahui oleh Rian.
"Lo masih gk suka sama dia? Dia baik Ran, masalah yang dulu cuma salah paham dan gue udah nyuruh dia buat berubah, dan dia mau."
"Lo emang gak ngerti gue Ian!" Aran melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Begitupun Rian yang mengejar Aran yang sudah jauh di depan.
"Apa yang gue gak ngerti Ran?! Apa?!" Teriak Rian ketika Aran sudah berada di depan pintu kamarnya.
"Perasaan gue, lo gak ngerti perasaan gue Ian, kenapa Keysi. Kenapa lo gak kasih kesempatan buat gue untuk jadi sesuatu yang lebih di hidup lo."
Air mata Aran jatuh ketika hatinya terdiam saat pria yang ia cintai ternyata memang tidak memiliki perasaan lebih. Tanpa berkata lagi Aran pun hilang di balik pintu kamarnya. Ia tidak tahu harus berbicara apa sekarang. Hati Aran sakit tapi nyatanya mustahil untuk ia mengungkapkan perasaannya pada Rian. Itu akan semakin membuat rumit keadaan.
Pagi ini Aran sudah bangun, ia sibuk memasukan barang-barang yang pernah Rian kasih untuknya. Barang-barang yang serba ungu, barang-barang yang sangat Aran suka. Namun kini semua itu Aran mau kembalikan, ia tidak mampu melihat semuanya karena dia harus merelakan cintanya, cinta yang belum diketahui Rian. Semua barang sudah tersusun rapi dalam satu kotak, hanya saja ada ada satu barang yang Aran sendiri enggan melepaskannya. Gelang ungu yang masih menyantel di pergelangan tangan Aran. Gelang itu adalah benda pertama yang Rian kasih untuknya, tepatnya tiga tahun lalu. Saat ia menemani pria itu dalam masa sulitnya, masa awal di mana kesalah pahaman ini ada. Dan pada saat itulah Aran mulai menaruh rasa pada Rian, namun ia baru menyadari itu kemarin. Saat Rian benar-benar tidak bisa ia gapai.
"Selamat tinggal cinta, maaf aku telat menyadari ini semua sampai harus merelakan apa yang selama ini ada"
Aran membawa kotak berisi barang itu dengan pasti, ia yakin apa yang ia lakukan ini benar. Aran sudah meminjam Mobil Shania, subuh tadi. Dan Aran akan ke rumah Rian pagi ini.
"Ran udah mau berangkat?" tanya Shania ketika melihat Aran menuruni tangga.
"Iya Mah," singkat Aran.
"Masih pagi banget lho ini, baru jam delapan. Sarapan dulu ya sayang."
Aran tersenyum dan mengangguk ke arah Mamahnya. Karena ia tahu hanya Mamah yang dapat menenangkanya. Sarapan berlangsung sepi, tanpa sebuah pembicaraan. Shania cukup mengerti kondisi putri saat ini. Hingga ia memilih diam setidaknya sampai Aran menghabiskan sarapannya.
"Ran," Ucap Shania setelah melihat putrinya selesai sarapan.
"Kenapa Mah?"
"Kamu gak akan benci sama Rian kan sayang?"
Aran seketika membisu, tatapan matanya pun menjadi kosong. Pikiran Aran kembali memutar kejadian semalam.
"Sayang?" Shania coba menyadarkan Aran yang terlihat melamun.
"Eh- enggak lah Mah, Aran sama Rian akan selalu jadi sahabat." Senyum terlukis di sudut bibir Aran, ia hanya bisa melakukan itu untuk menutupi semuanya.
"Hanya sahabat," lirih hati Aran.
💜💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Purple Girl
RomanceTuhan menciptakan dunia dengan berbagai warna di dalamnya dan setiap manusia berhak memilih warnanya sendiri. Tapi bagaimana jika warna pilihannya malah dianggap aneh dan membuatnya merasa dijauhi, bahkan oleh orang yang tersayang. lanjut baca kuy...