EGO. 3

1.4K 194 43
                                    

Semua bilang ego dan cinta tidak bisa berjalan bersama, dan itu benar adanya.

Ego adalah bagian dari diri manusia yang selalu fokus pada kepentingan mengutamakan diri sendiri tanpa peduli pada realita yang dimiliki orang lain. Sementara cinta bertoloak belakang dengannya.

Cinta itu memberi, sedang ego menuntut.

Cinta itu membebaskan, sedang ego mengekang.

Namun mereka bagai dua sisi mata uang, menyatu dalam diri manusia dan terkadang satu sifat diantaranya akan muncul dan lebih dominan.

'Akan lebih mudah melawan pasukan bersenjata lengkap daripada melawan keegoisan diri'

Nayeon sudah melaluinya. Memang benar, melawan keegoisan itu tidaklah mudah. Dan dia pernah kalah.

Dua tahun lalu, Nayeon kalah melawan egonya sendiri pun ego pria yang kini tengah ada di pikirannya.

Kisah manis mereka harus berakhir. Masa depan indah yang mereka susun rapi harus kandas karena emosi sesaat yang berujung perpisahan.

"Apa yang kau pikirkan?"

Nayeon mendongak, pandangannya tepat bertemu dengan pandangan dari mata sipit yang kini menatapnya.

"Tak ada." Jawab Nayeon.

"Makanan itu untuk dimakan, bukan dimainkan. Sama seperti perasaan, sayang kalau disia-siakan."

Nayeon mendengus sebal.

"Apa maumu, Jimin-ah?"

Pria bernama lengkat Park Jimin itu terkekeh.

"Tidak ada." Jawabnya.

"Ini, makanlah. Makananmu pasti sudah dingin karena terus kau aduk sejak tadi. Aku yakin rasanya juga sudah tidak enak." Katanya lalu menukar makanan Nayeon dengan makananya.

Nayeon menghela nafas. Bukannya menyantap makanan di depannya, dia malah meletakkan sendoknya lalu bersendekap sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Netranya memandang ke luar jendela besar kantin kantornya. Melihat air yang jatuh dari angkasa.

"Aku bertemu dengan dia." ucap Nayeon.

"Aku tau." Jawab Jimin.

"Kau sengaja mengirimku kesana'kan?" tanya Nayeon yang kini mengalihkan pandangannya pada Jimin.

"Dan kau mau." Jawab Jimin lalu menyesap kopinya.

Lalu keduanya diam untuk beberapa saat. Saling pandang tanpa mengucap apa-apa.

"Maaf." Ucap Jimin tiba-tiba.

"Aku hanya ingin membantumu. Aku tau kau merindukannya, karena itu—"

"Tapi dia tidak." sela Nayeon.

"Dia pasti membenciku. Dia tidak sedetikpun memandangku. Aku sendiri yang memandangnya, terus, hanya aku. Dan dia sama sekali tidak peduli padaku. Baginya aku hanya wanita jahat." Ucap Nayeon sambil menatap kembali hujan di luar sana.

Pandangan Jimin sendu. Dia menatap wanita yang mungkin sebentar lagi menjatuhkan air matanya.

Tak apa, menangislah. Aku akan menghapus air matamu itu.

Kalimat itu selalu terbayang di kepalanya.

Sayangnya Nayeon adalah wanita yang kuat. Sangat kuat hingga dia tidak pernah menangis di hadapan orang lain. Tapi Nayeon begitu lemah di hadapan bayangannya.

Ya—saat dia sendiri, dia akan menangis. Dalam gelap, dalam sepi.

Perlahan namun pasti, penyesalan yang selama dua tahun ini dia rasakan menggerogoti dirinya, melemahkan perasaannya.

Semakin hari dia semakin lemah.

Nayeon sudah mencoba, tapi terlalu sulit.

Dia tau dia salah, tapi hukumannya terlalu berat.

Dia tau dia egois. Tapi tidakkah pria itu jauh lebih egois?

Memisahkan seorang ibu dengan anaknya karena alasan harga diri dan gengsi. Hanya orang tidak waras yang melakukannya—dan sialnya Nayeon mencintai orang yang tidak waras itu.

"Jimin-ah, aku ingin pulang lebih awal." Ucap Nayeon.

"Hum? Kalau begitu pulanglah. Jangan khawatir, kau itu temannya bos besar. Absenmu akan tetap penuh walaupun kau tidak pernah masuk." Kata Jimin.

Nayeon menatap Jimin dengan malas.

"Ya, ya. Sajangnim. Aku adalah sahabatmu, jadi pastikan absenku selalu penuh dan gajiku tidak terpotong. Arrachi?" ucap Nayeon lalu mengambil tasnya yang diletakkan di bangku sampingnya dan berlalu begitu saja.

"Yak! Aku bosmu Im Nayeon!"

Nayeon menatap rumah sederhana yang harusnya ditinggalinya bersama dua pria yang sangat dicintainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nayeon menatap rumah sederhana yang harusnya ditinggalinya bersama dua pria yang sangat dicintainya.

Tersenyum getir saat melihat rumah di sebrang sana. Pandangannya yang kabur karena air mata itu melihat sosok kecil yang tengah tertawa bersama seorang wanita.

Ingin sekali dia berlari, menerobos gerbang kecil sepinggang itu lalu masuk dan memeluk sosok kecil yang sangat dirindukannya itu. Sayangnya dia tidak bisa. Terlalu malu untuk melakukannya. Terlalu takut jika dia nantinya malah akan menyakiti orang yang dicintainya.

"Kau benar, Jungkook-ah. Dia tumbuh dengan baik tanpa kasih sayangku." Gumamnya.

"Gumawo, kau sudah merawat putra kita dengan baik. Maaf karena aku tidak pantas menjadi seorang istri dan ibu."

Sesaat kemudian, sebuah mobil hitam berhenti tidak jauh dari gerbang. Seorang pria keluar dari sana. Dengan senyum cerah dia sedikit berlari, membuka gerbang dan memasuki halaman rumah sederhana itu.

Nayeon melihatnya. Dia—Jungkook terlihat begitu bahagia ketika sosok kecil itu berlari ke arahnya dan memeluknya.

"Kalian kelihatan baik-baik saja." Gumam Nayeon.

Nayeon iri. Dia juga ingin merasakan hal yang sama. Tapi Nayeon terlalu malu. Dia merasa tidak pantas.

"Maafkan eomma, Youngshil-ah. Eomma akan menebus dosa eomma di neraka nanti. Berbahagialah dengan appa."







To be Continue...

EGO [END] [MASIH LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang