Bab 17

2.4K 341 5
                                    

Bagaikan flashback, kami bisa melihat kejadian semasa Merah hidup.

"Inilah aku," ujar Merah sambil menunjuk kursinya.

Ceritanya dimulai...

Tampak bayangan tampak seperti Merah menyandar di dinding.

"Heh! Tidur terus kerjaannya! PR gak dibuat, sekarang malah tidur di kelas," ujar bayangan lelaki jangkung itu, wali kelas Merah katanya.

"Maaf Pak, tadi malam aku tidak tidur, aku disuruh membersihkan wc sampai bersih oleh Ibuku," ujar bayangan si Merah.

"Ah alasan, masa iya Ibumu yang sangat ramah itu sekejam itu sama kamu," balas lelaki itu.

"Ramah? Ah iya, ngambil rapor itu ya? Dasar wanita bermuka dua," ujar bayangan Merah.

"Sudah! Dasar pemalas! Durhaka lagi! Gak pantas hidup," lelaki itu menampar pipi Merah.

Kami melihat bayangan itu fokus.

"Uuuuu!!! Dasar cewek bajingan," sorak seisi kelas.

Bayangan berubah, suasana seperti di rumah.

"Bodoh banget sih lu! Noh, nilai rapor merah semua," ujar bayangan Ibu Merah.

"Bukannya Ibu suka Merah? Sampai-sampai namaku diberi nama Merah," balas Merah.

"Ga guna hidup lu!" balas Ibu Merah.

Valentina menutup matanya, tak kuat melihat perlakuan Ibunya si Merah.

Rambut Merah di tarik kencang Ibunya, diambilnya gunting di potongnya rambut Merah sangat pendek.

"Ibu jahat!!" Merah menangis.

Diambilnya gunting itu dan ditusuknya perut Ibunya dalam-dalam.

"Dasar... Bajingan..." ucap Ibunya lalu tersungkur diatas genangan cairan merah berbau anyir itu.

Merah panik, dia berlari keluar menuju sekolah dengan baju penuh darah.

Ternyata wali kelasnya masih di sekolah meskipun sudah jam 22.00. Dia menumpuk tugasnya hingga terpaksa bermalam di sekolah sendirian.

"Pak! Tolong aku!! Ibuku!!!" ujar Merah panik.

"Kau membunuhnya??!" wali kelas Merah menatap darah di bajunya.

Lelaki itu menarik tangan Merah menuju pohon di dekat sekolah. Merah dilempar ke batang kayu itu, punggungnya terasa sakit.

"Dasar anak bajingan!" lelaki itu menendang perut Merah yang tersandar tak berdaya di batang pohon itu.

"Pak hentikan!!!" Merah memohon sambil berusaha menahan kaki wali kelasnya yang terus menendang perutnya, sepatunya yang tebal begitu terasa menyakitkan saat di benturkan ke tubuh Merah.

Lelaki itu memukul kepala Merah berulang kali, membenturkan kepalanya ke kayu itu hingga berdarah.

"Siapa... Yang... Bajingan... Sebenarnya?" ucap Merah di nyawanya yang hampir tiada.

Merah terkapar di depan kayu itu, batang kayu itu di penuhi bercak darah.

Lelaki itu panik, dia berlari ke kantor mencari kuncinya.

Dor!!

Dor!!

Dor!!

"Sarimi dok dok derrr!!" sela Adhian.

"Bego! Tolol! Bodoh!!" balasku kesal.

Adhian hanya menunduk malu.

Kami kembali melihat bayangan seperti layar lebar itu.

Beberapa polisi berdiri di depan kantor.

"Berhenti!!" ujar polisi itu.

Lelaki itu tetap berusaha lari menuju jendela.

Polisi itu mengarahkan pistolnya ke betis lelaki itu, namun tangan arwah Merah menarik kaki lelaki itu. Dia terjatuh dan peluru panas itu melesat ke kepalanya.

Bayangan itu menghilang.

Semuanya bersedih, Valentina menangis tak kuat melihat kejadian itu. Semuanya menatap Merah, tampak Merah termenung menatap kursi itu.

"Aku benci semuanya, termasuk sekolah ini, terutama kelas ini," ujar Merah.

Itu alasan Merah sering membunuh orang di kelas ini.

"Tapikan kami tidak bersalah," ujar Rivania.

"Aku ingin sekolah ini segera di hancurkan, salah satunya dengan cara membunuh kalian," ujar Merah.

Miris sekali hidupnya...


Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang