Bab 27

2.2K 287 10
                                    

"Masih keras kepala mempertahankan sekolah ini?" ujarku dengan nada agak keras.

Seisi kelas menatapku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.

"Dampaknya buruk banget kalau kita kehilangan sekolah, apalagi saat-saat mendekati masa kelulusan," ujar Rivania.

"Oh, milih mati ya, makan tuh sekolah," sergah ku kesal.

Adhian menghampiriku lalu menarikku ke sudut depan kelas.

"Jangan gitu dong, kami semua memang takut dengan teror ini, tapi kami tak ingin jika perjuangan kami demi lanjut ke SMA sia-sia," ujar Adhian.

"Ck, berharga mana sih hidup ketimbang masa depan?" Aku mendecih kesal, menatap Adhian dengan penuh kebencian.

"Aku tahu itu, tapi saat ini kita hanya perlu berhati-hati," balas Adhian lembut.

"Tidakkah kau lihat? Teman kita yang sudah mati di tarik ke kursi sialan itu, mereka sudah menjauh, tapi Merah bisa menarik mereka seenaknya," Aku mendengus sebal. "Pilihannya menghancurkan sekolah atau kita semua mati! Kalian lebih pilih mati?!"

Tampak Valentina mendekap Verisa erat karena stress dengan permasalahan ini.

"Diam! Pasti ada jalan!" sedih dan kesal tercampur aduk dalam hati Valentina.

"Apa?!" balasku.

"Aku tak tahu!" Valentina menunduk lalu mengepalkan tangannya.

"Kalau gak salah aku pernah melihat buku berjudul 'about devil' di kamar kakekku yang sudah tiada itu," sela Nindy.

"Lalu?" tanya Devan.

"Kalau gak salah ada sejenis mantra mengusir iblis gitu," bisik Nindy.

"Besok bawa ya," ujar Rivania.

Nindy mengacungkan ibu jarinya.

***

Esok harinya...

"Betul! Ada mantra nya!" ujar Nindy yang baru datang ke kelas sambil mengeluarkan bukunya. "Katanya perlu 5 batang lilin."

"Dimana kita cari?" tanya Rivania.

"Sudah ku bawa!" sahut Nindy.

Nindy mulai menghidupkan 1 lilin sambil melihat tahapnya di buku itu.

Dia meneteskan lelehan lilin itu ke sekeliling kursi.

"Tutup semua jendela dan pintu," perintah Nindy.

Dengan sigap Devan melakukannya.

Nindy meletakkan tiap batang lilin di sekeliling kursi itu, kemudian dia menghidupkan tiap sumbu lilin dengan urutan arah jarum jam. Setelah itu dia mulai membaca mantranya.

"Con tutto il cuore, sinceramente, permettimi e aiutami a legare il diavolo. Legare con le manette calde, non lasciarlo perdere. Sei legato, diavolo!" Nindy memejamkan matanya sambil membaca itu.

Saat dia membuka matanya, tampak atap dan dinding kelas penuh tulisan bertuliskan 'jangan coba mengusir ku!" dengan goresan krayon berwarna merah.

"Verisa dimana?!" ujar Nindy.

"Pintunya terbuka! Ayo kita cek keluar," ujarku.

Tampak Verisa berdiri di atap pagar lantai dua ini.

"Merah! Hentikan!" sorak Valentina gemetar.

Adhian berlari ke arah Verisa, namun tubuh Verisa sudah terlanjur mendarat ke bawah. Kami pikir dia sudah mati, ternyata dia masih sedikit bernafas. Valentina berlari kebawah, namun tubuh Verisa melayang ke atas setinggi lantai dua, kemudian di hempaskan kembali. Dia sudah tak bernyawa lagi. Namun Merah masih senang memainkan tubuhnya itu, dia lakukan hal seperti tadi berulang kali hingga tampak wajahnya hancur.

"Tak ada yang sadar kah kalau ada nyawa yang melayang itu?!" ujar Valentina di bawah sambil menatap tubuh Verisa yang berantakan itu.

Ternyata semua siswa di pulangkan karena guru akan mengadakan rapat dengan sekolah lain. Kami tak sadar akan hal itu karena terlalu fokus dengan tahap pengusiran arwah Merah.

"Mantra palsu!" sergahku.

"Jangan ngomong sembarangan ya!" balas Nindy kesal.

"Faktanya gitu!"

"Merah sudah terlanjur lari dari kursi itu ke tubuh Verisa!"

"Bodo ah!"


Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang