Bab 28

2.2K 292 25
                                    

"Ku pikir, keadaan akan membaik, nyatanya malah begini," ujar Valentina yang duduk di tangga.

"Aku hanya tidak fokus, ku pikir Merah masih duduk di kursinya," ujar Nindy.

"Atau mungkinkah kau berniat membunuh kami semua?" ujarku.

"Jangan ngomong sembarangan woy!" bentak Nindy.

"Nyatanya gitu, lu banyak makan nyawa teman-teman lewat terornya Merah," balasku.

"Diam! Jangan asal tuduh!" air mata Nindy mulai membanjiri pipinya perlahan.

Devan yang tak tega melihat pacarnya itu disakiti mendekati ku.

Plakk!!

Tak ku sangka Devan menamparku cukup kuat. Lalu dia pergi ke arah Nindy dan mengajaknya menjauh dari kami.

Adhian naik pitam, dia berlari ke arah Devan. Di tendangnya punggung Devan sekeras mungkin, kemudian Devan tersungkur.

"Santai dong!" sergah Devan.

"Lu sendiri gimana?! Seenaknya nampar Rena?!" balas Adhian.

"Salah dia sendiri nyakitin Nindy!"

"Lebay njirr, bajingan banget cowok main fisik sama cewek cuma gara-gara mereka perang mulut," balas Adhian sambil menatap Devan kesal. "Lu yakin mau sama cowok kayak dia, Nindy?"

"Jangan hasut-hasut pacar gua, urus aja hubungan lu sendiri,"

Tampak Nindy menarik-narik tangan Devan, berharap bisa memisahkan mereka yang bertengkar itu.

Aku pun turun tangan, ku tarik tangannya menuju tangga. Lucunya Adhian nurut sama aku.

"Biar aku selesaikan ini sama cowok bajingan itu!" ujar Adhian.

"Udah ah, masalah kecil doang, lagipula aku sih yang duluan," balasku.

"Tapi kan dia main fisik, liat tuh pipi kamu merah,"

"Ya ada apa?" Merah muncul di samping Adhian.

"Bukan kamu! Maksudnya pipiku memerah!" ujarku.

Merah menghilang.

"Tapi gak sakit kok," ujarku berbohong, padahal mah nyeri-nyeri mantap.

"Yakin nih? Maunya gimana nih?" ujar Adhian sambil memperbaiki poninya yang kusut.

"Aku maunya kamu diam dulu, lupakan masalah tadi, nyawa kita terancam nih!"

"Ya deh, apapun untuk zeyenk-ku,"

"Cuih!"

***

"Valentina mana?" tanya Rivania.

"Oh iya ya, padahal dia di tangga tadi," ujarku.

"Kemana ya, kok aku jadi khawatir, dia orangnya mudah depresian, dia sering curhat sama aku di WhatsApp, bahasnya bunuh diri sama mati terus,"

"Wah, jangan sampai deh kayak gitu,"

Tak lama kemudian, Aku berlari keluar kelas.

"Aku ke WC dulu, kebelet nih," ujarku pada Rivania.

Saat di WC, aku melihat semua pintu WC tertutup. Aku sering menggunakan WC paling ujung, soalnya ada pengharum ruangannya.

Salah satu pintu terbuka, ternyata Nindy. Sontak aku langsung memalingkan wajah. Aku langsung mendorong gagang pintu WC ujung, kemudian aku menjerit sekencang-kencangnya. Tampak sebuah bak air berisi air merah, tampak seperti darah. Saat aku dekati, tampak rambut mengapung di permukaannya.

Saat aku raba-raba ke dalamnya, terasa sebuah tubuh yang lemas. Dengan beraninya aku tarik tubuh itu. Aku terpekik saat sadar kalau tubuh itu adalah tubuh Valentina.

Tangan kanannya penuh sayatan, tapi aku tak menemukan pisau ataupun cutter.

Aku merasa kalau ini ulah Nindy!

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang