Bab 24

2.3K 289 0
                                    

Hpku bergetar, sebuah pesan masuk di tengah malam begini.

Tanganku gemetar meraih benda serba bisa itu.

"Kau gagal, aku sudah di depan rumahmu" begitulah yang tertulis.

Aku mencoba mengintip dari jendela kamarku. Mataku melirik ke segala tempat di depan rumahku.

Tak ada apa-apa!

Aku berbalik, sosok berjubah hitam dengan sebuah pisau telah siap membunuhku dari belakang. Sontak aku langsung menghindar saat mata pisau itu hampir menusuk punggungku.

"Siapa kau!" sorakku sambil berjalan mundur hingga terhenti di depan lemari.

Mahluk itu terus mendekati ku dan menodongkan pisaunya. Saat mata pisaunya dilayangkan ke wajahku, aku langsung melindungi diri ku dengan novel 200 halaman di sampingku. Pisaunya tembus, tapi tak menjangkau wajahku.

Aku langsung menarik jubahnya, memastikan siapa orang dibalik itu.

"Nindy?!" ujarku sangat terkejut. "Apa yang kau lakukan padaku?"

"Bu Lia yang memintanya padaku, jangan salahkan aku!" balas Nindy.

"Bohong! Wanita itu tak akan tahu rencanaku!"

"Kau pikir, saat kau mengaku itu tak didengar Buk Lia?"

"Nomor siapa yang kau pakai?!"

"Aku mendapat bantuan dari teman tak kasat mataku!"

"Pergi dari sini!"

"Aku akan pergi, sebelum dendam Buk Lia terbalaskan!"

Nindy mencabut pisau yang ada di Novel itu.

"Talia! Tahan anak ini!" ujar Nindy, tampak berbicara dengan teman tak kasat matanya.

Aku yang terpojok di depan lemari itu merasa di ikat borgol besi. Aku mencoba memberontak, tapi aku kalah tenaga.

"Aku benci melakukan ini, tapi nyawa dibalas nyawa!" ujar Nindy sambil menodongkan pisaunya.

"Aku lakukan demi kau juga, aku tak ingin sahabatku mati konyol begitu saja! Aku coba cegah penghalangnya, lalu dengan hilang akalnya kau ingin membunuh ku?! Jika ku tahu akan begini, lebih baik kau, aku dan teman yang lain mati terbunuh oleh Merah!"

Nindy melepaskan pisaunya.

"Tapi... Kenapa harus dengan cara ini?!" sergah Nindy.

"Tak ada cara lain! Wanita berkepala batu itu sulit untuk mengerti kondisi!" balasku.

"Talia! Lepaskan dia!"

"Sekarang pulanglah!"

"Baiklah!"

Gak ada minta maaf gitu? Bodo ah!

Aku mengintipnya yang pulang sendirian itu, tidak, berdua dengan temannya itu.

Aku melihat Merah sedang berdiri di tengah jalan, di belakangnya terdapat kursi miliknya.

Sebuah mobil berwarna silver melaju cepat, saat pengendara itu melihat sebuah kursi penghalang, dia membelokkan kendaraannya secara tiba-tiba ke trotoar, disana terdapat Nindy yang sedang berjalan.

"Nindy!!! Awas!!" sorakku.

Nindy membalikkan badan, sontak dia langsung melompat ke belakang pohon.

Mobil itu menabrak pohonnya, nyawa Nindy hampir melayang.

Nindy yang panik itu melihat kondisi pengendaranya.

"Tak apa-apa Pak?" tanya Nindy.

"Tidak apa-apa, untung Bapak pakai sabuk pengaman," balas lelaki lansia itu. "Kau punya ponsel? Bapak perlu menelpon derek."

"Punya Pak, ini silahkan,"

Setelah menelpon derek, akhirnya mobil derek itu datang. Ternyata di jam segini, masih ada orang yang mau menyelamatkan orang lain.

Nindy mengacungkan jempolnya ke arahku. Kupikir dia berterima kasih.

Merah mencoba membunuh Nindy, tapi dia gagal. Dia hanya bisa membunuh tanpa gagal jika seseorang duduk di kursi miliknya.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang