Bab 30

2.2K 283 1
                                    

 "Tinggallah kita berlima!" ujar Rivania.

Seketika hening, hanya terdengar suara dentingan jam yang terus berputar. Kami saling menatap, lalu kami tolehkan kepala kami ke arah kursi kematian itu.

Sadis, kelas ini telah jadi saksi bisu dari semua jeritan kesakitan beberapa teman-teman kami yang malang.

"Kita bakar sekolah ini!" ujarku.

"Tapi-," Nindy tercekat saat aku menatapnya tajam.

"Yang menolak, silahkan mati secepatnya, percuma bertahan hidup, ujung-ujungnya kalian bakal di bunuh Merah," ujarku.

"Cuma kamu yang gak setuju Nindy," ujar Rivania.

"Ayolah Nindy, kau harus percaya, ketika sekolah ini telah hancur, tak akan ada lagi kursi kematian itu, Merah hanya ingin tenang dengan cara membalaskan dendamnya," ujar Devan.

Nindy hanya diam dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Ada banyak arwah di sekolah ini, jika dia kehilangan tempatnya, mereka akan berpindah tempat dan itu bisa sangat mengganggu masyarakat," ujar Nindy.

"Setidaknya mereka tak membunuh," balasku.

Tiba-tiba seluruh meja dan kursi selain milik Merah melayang ke dinding. Kursi milik Merah berpindah pelan ke tengah-tengah kelas.

"Apa lagi ini!" ujar Adhian.

"Kalian terlalu berlama-lama, penuh pertimbangan, lebih memilih bangunan ini daripada aku yang hanya ingin tenang, kan aku beri pilihan terakhir, duduk di kursi ini sekarang atau hancurkan bangunan ini secepatnya," suara Merah terdengar jelas, namun wujudnya tak nampak, meskipun Aku dan Nindy yang biasanya bisa melihatnya.

"Berikan kami waktu," ujarku.

"Hari ini, lewat dari jam 22.22, kan ku bunuh kalian!" balas Merah yang tiba-tiba muncul di belakang kami.

"Baiklah," balas kami serentak.

***

Esok harinya...

Bel istirahat berbunyi, guru yang mengajar kami keluar kelas, sedangkan kami memasukkan semua perlengkapan belajar kedalam tas.

Bruk!

Pintu tertutup kencang, saat Adhian mencoba membukanya, pintunya seperti terkunci.

"Kan ku bunuh semua isi bangunan ini, kecuali kalian," ujar Merah yang berdiri kaku di samping kursinya.

"Kenapa?!" ujarku panik.

"Itu dendamku, mereka menggangguku, mereka membicarakanku, dan mereka juga ingin menyingkirkanku," ujar Merah.

Merah menghilang. Tak lama kemudian, terdengar jeritan dari kelas sebelah, dimana-mana ada jeritan mengerikan.

Jendela kami tertutup bayangan hitam, kelas kami benar-benar dikunci.

Lama waktu berjalan, akhirnya jeritan terakhir telah berakhir. Pintu terbuka. Bau busuk yang sangat menyengat menyeruak masuk bersama semilir angin pagi.

Kami menjerit, seisi bangunan ini penuh darah. Kami berjalan pelan di koridor, kami pandang tiap kelas, semua kepala mereka terpisah dengan badan.

"Hati-hati, tangganya licin," ujar Rivania.

Kami menuruni tangga, kami tatap sekeliling. Mata kami membelalak saat melihat sekelompok masyarakat dan polisi di gerbang juga bernasib sama. Kami langsung berlari kencang ke arah kelompok itu, alangkah terkejutnya aku ternyata ada Ibu yang jadi korbannya. Orang tua yang lain juga, mereka mengawatirkan kami berakhir mengenaskan.

"Merah! Berhenti main-main!" ujarku.

"Mereka berusaha menarik isi bangunan ini keluar," balas Merah.

Kami semua tak kuat melihat kepala orang tua kami tergeletak di atas genangan darahnya. Adhian menggenggam tangan ibunya yang kepalanya putus itu.

"Dulu aku berjanji akan belajar sungguh-sungguh supaya Ibu bisa melihatku jadi orang sukses kelak, tapi kenapa Ibu mendatangi kematian," ujar Adhian sambil tak berhenti menangis.

"Ini salah Merah!" ujar Devan.

"Bukan salahku!" balas Merah yang menggenggam pisau itu.



Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang