Bab 32

2.2K 271 0
                                    

Dengan sekuat tenaga aku tarik Nindy yang keras kepala itu. Merah melirik kami berdua.

"Rena, Nindy, kamu ketahuan!" ujar Merah.

"Maafkan aku," ujar Nindy.

"Semoga kita bisa menang," ujarku.

Kita tak punya pelari cepat seperti Devan. Tapi kami masih punya satu-satunya cowok yang tersisa dan wanita pintar.

Rivania bersembunyi di perpustakaan, kebetulan jendelanya tak terkunci. Dia mencoret-coret dinding dengan spidol, dibuatnya denah sekolah, kemudian dia menandai tempat Merah berhitung tadi.

Dengan jeniusnya dia menghitung perkiraan kecepatannya dan waktu yang di butuhkan agar bisa memenangkan permainan ini. Ternyata tak ada peluang untuk meraih kemenangan bagi Rivania.

"Tapi Adhian bisa!" gumam Rivania.

Rivania keluar dari perpustakaan untuk mencari Adhian. Dia mengintip untuk mencari keberadaan Merah dan Adhian.

"Jarak mereka sangat jauh!" ujarnya.

Dia menarik nafas panjang, setelah itu dia berlari sekuat tenaga menuju Adhian yang kini berada di belakang kelas tujuh.

Setelah sampai di sana.

"Tinggal kita berdua yang bertahan," ujar Rivania dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Gawat! Kita harus ekstra hati-hati, sedikit lagi jam sepuluh," balas Adhian.

Rivania membuat denah sekolah di tembok lagi, dia jelaskan strategi untuk memenangkan permainan ini.

"Ingat, kita hanya punya satu kesempatan, kalau kau terlambat, kita semua kalah dan kemudian mati!" kata Rivania.

"Bagaimana?" balas Adhian.

"Kau harus memutar, sementara itu aku menimbulkan suara yang membuat Merah mendatangi ku ke ujung belakang sekolah, kau kembali ke tempat Merah berhitung, kau harus pastikan Merah sudah menjauh darimu, mengerti?"

Adhian mengangguk.

"Ok, kita mulai!" ujar Rivania.

Adhian bersiap-siap untuk lari sedangkan Rivania bersorak.

Merah melesat cepat menuju lokasi Rivania.

"Sekarang!" ujar Rivania.

Adhian berlari memutar tiga per empat sekolah. Lalu dia mengendap-endap ke tempat Merah berhitung.

Ternyata Merah muncul di tempat berhitungnya itu. Adhian langsung bersembunyi di balik tembok.

Merah yang curiga mendatangi sumber suara nafas Adhian.

"Kau ketemu, Adhian," ujar Merah.

"Aku gagal!!!" sorak Adhian memberi kode pada Rivania.

Rivania yang kesal menggenggam spidol dengan kencang.

"Bodoh sekali! Tak bisa di andalkan!" ujar Rivania. "Tunggu! Aku salah strategi, aku yang salah!"

Aku, Nindy dan Adhian di suruh duduk melingkar menghadap kursi milik Merah.

"Rivania," Nindy tampak menangis menyebut nama temannya yang jadi harapan kami.

Rivania mengendap-endap ke tiap balik tembok. Dia melempar batu ke kaca kelas tujuh untuk memancing perhatian Merah.

Merah melesat ke kelas tujuh itu, sedangkan Rivania berlari sekuat tenaganya menuju tempat berhitung Merah.

"Ketahuan!" Merah muncul seketika saat Rivania ingin berdiri di tempat berhitungnya.

Rivania menjerit sekeras-kerasnya.

"Gawat! Kita akan mati!" ujarku.

Kami sudah di kumpulkan dalam kelas.

"Ok ok, siapa yang pertama?" ujar Merah.

"Aku!" ujar Adhian penuh percaya diri.

"Tidak! Tidak!" ujarku. "Kau tak ingin sekolah ini hancur?"

"Apa artinya sekolah yang semua siswanya mati? Pasti mereka akan menutup sekolah ini dan membuatnya datar," balas Merah.

"Sudahlah, biarkan saja Ren," ujar Adhian.

"Gak bisa lah, masa iya sesantuy itu kamu ingin di bunuh," balasku.

"Gak, aku ingin menjemput Ibuku di alam sana,"

"Udah, udah stop dramanya," ujar Merah. "Aku tak sabar ingin menyiksanya."

"Percayalah," ujar Adhian berdiri sambil tersenyum padaku.

"Bodoh!" ujarku kesal.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang