Bab 31

2.2K 281 0
                                    

Aku mengepalkan tanganku sangat kuat, aku sangat muak dengan perlakuan Merah. Sedih dan marah tercampur aduk membuat kepalaku benar-benar sakit. Tak lama kemudian aku ambruk di atas tumpukan jasad tak berkepala itu.

Tak lama kemudian aku sadar, teman-temanku yang penuh tangisan di wajahnya itu mengerumuniku.

"Kita hancurkan bangunan ini secepatnya!" ujarku.

"Usahakan saat malam, karena kalau saat ini kita bisa di hentikan seseorang untuk membakar sekolah ini!" ujar Adhian.

"Bagus! Merah, bisakah kau bersabar?" ujarku.

Merah mengangguk pelan, kemudian menghilang.

"Kita punya waktu yang cukup banyak untuk menjalankan aksi kita, hanya menunggu malam tiba," ujar Rivania.

"Baik, kita harus tetap di sekolah," ujarku.

"Kita ngapain aja sampe malam tiba?" tanya Nindy.

"Petak umpet, jangan sampai lengah dalam bersembunyi, kursiku akan berkeliaran membantu ku," sahut Merah.

"Wah curang! Nanti kami mati dong," ujar Adhian.

"Makanya harus teliti!" ujar Merah.

"Tidak! Perjanjiannya kalau sekolah ini hancur, kau pergi," ujar Devan.

"Memang aku akan pergi, apakah menghancurkan sekolah perlu lebih dari 1 orang?" ujar Merah menatap Adhian bengis.

"Parah! Aku harus pulang! Yuk Nindy!" ujar Devan.

"Kau berani kabur dari permainan ini?!" ujar Merah sambil menunjuk Devan.

"Percuma kami berjuang kalau ujungnya hanya 1 orang yang akan selamat," ujar Nindy. "Haruskah aku membunuh mereka?"

"Hah, ngakak banget kamu Nindy," sahut Rivania.

"Ok permainannya dimulai!" ujar Merah. "Aku yang jaga!"

Merah menghitung dari 1 sampai 10. Terpaksa kami bersembunyi, namun Devan gegabah. Dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari sekolah. Di depan gerbang sekolah, saat Devan ingin melangkah keluar, besi pagar membengkok, lalu bagian tajam di puncaknya melesat cepat ke punggung Devan.

Darah segar meleleh di mulutnya, dia berusaha berteriak, namun mulutnya di penuhi cairan merah itu.

Besinya terus menembus hingga ke perutnya. Ntah darimana Merah menyadari itu, tapi dia bukan hantu biasa. Bukan! Dia itu iblis!

Aku bersembunyi di kantin, sendirian. Aku memutuskan untuk bersembunyi di bawah meja. Waktu terus berjalan hingga tak terasa menutup senja. 

Plakk!!

Semua kursi di kantin berjatuhan kebelakang. Aku pikir Merah ada di sekitar sini. Gawat!

Terdengar langkah kaki di dalam kantin ini. Aku menutup mulut dan hidungku agar suara nafasku yang sesak tak terdengar. Tampak kaki merah dari bawah meja ini.

"Woyyy!!!" sorak Adhian.

Adhian ada di belakang kelas 7 yang tak jauh dari kantin. Dia sadar kalau aku ada di sini.

"Akkkhhhhh!" jeritan Nindy terdengar.

Nindy yang ingin berpindah tempat bersembunyi melihat Devan yang menggantung di besi pagar bengkok itu. Dia tak beranjak pergi dari gerbang itu. Merah berjalan menuju tempat Nindy berada. Aku yang menyadari itu berlari ke arah Nindy juga dengan jalur yang berbeda.

Aku berlari dengan cepatnya, saat aku tiba di tempat Nindy. Aku langsung menariknya.

"Ayo cepat! Merah kesini!" ujarku.

"Tidak! Kita harus menyelamatkan Devan dulu!" Nindy melepaskan tanganku.

"Tidak! Kau bisa kalah nanti,"

"Kita tidak akan di bunuh kalau kalah!"

"Bukan! Kita bermain sampa jam sepuluh nanti, gak mungkin tak ada yang ketahuan, kita perlu bertahan selama itu! Kalau semuanya kalah, ya kita bakal duduk di kursi itu!"

"Tidak mau!"

Aku memeluk Nindy erat.

"Sudahlah! Kita urus Devan nanti!" ujarku.

Merah hampir mendekati gerbang.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang