Bab 18

2.4K 306 4
                                    

"Bisa kau beri tahu dimana rumahmu?" tanya Nindy.

"Untuk apa? Itu sudah jadi rumah kosong," balas Merah.

"Kenapa? Kemana keluarga mu?" tanyaku.

"Pertama aku membunuh Ibu, lalu ayah, aku lupa melihatkan kejadian itu, itu terjadi sebelum aku tertidur dikelas itu," sahut Merah.

"Kenapa?" tanya Valentina menggigit kukunya.

Flashback On

"Bersihkan WC nya sampai benar-benar bersih!!" bentak Ayah Merah.

"Kenapa Yah? Aku tidak salah apa-apa," balas Merah.

"Bersihkan saja! Kau bilang tak bersalah? Lalu kenapa piring itu bisa pecah?" sela Ibu.

"Aku tidak sengaja Bu," balas Merah.

"Bersihkan! Jangan harap kau bisa tidur malam ini sebelum WC nya kinclong," bentak Ibu.

Terpaksa Merah harus membersihkan WCnya berjam-jam. Tak lama kemudian Ayahnya datang.

"2 jam ngerjain ini tapi masih masih kotor gini?" ujar Ayah.

"Cih, orang tua bajingan," bisik Merah, namun Ayahnya bisa mendengar perkataannya.

"Kau yang bajingan!!" Ayah Merah menendang pinggang Merah hingga terhempas di tembok WC.

Merah kesal, dia mendorong Ayahnya lalu mengambil pisau dapur.

"Kamu mau ngapain?! Dasar Bajing-"

Crattt...

Pisau yang digenggam merah menusuk perut Ayahnya dalam. Merah panik, dia berusaha menarik Ayahnya lewat pintu belakang di dapur. Sebelum itu dia bersihkan darah di WC.

Merah menarik jasad Ayahnya ke kebun pisang dekat rumahnya. Dia tutup jasad Ayahnya dengan daun pisang bertumpuk-tumpuk.

Flashback Off

"Wah, aku baru tau ada orang tua sekejam itu," ujar Verisa.

"Bolehkah kami pulang?" ujar Devan.

"Ya, ini sudah larut," sahut Nindy.

"Baiklah, terima kasih telah menemani ku," ujar Merah.

Terima kasih? Ada ya hantu berterima kasih gitu.

"Tapi aku tak yakin kau bisa keluar dari sekolah ini sampai jam 02.02," ujar Merah.

"Kenapa?" tanya Adhian.

"Tak hanya ada aku di sini," ujar Merah.

Bruk!!

Pintu kelas tertutup lalu terbuka lagi.

Kami keluar, baru saja berjalan di tangga, ada cowok remaja tampan di tangga. Seketika kami langsung terpesona, kemudian kami tatap kakinya. Kami langsung berlari mundur, kakinya tak berpijak.

"Apa-apaan tuh cowok!" ujar Valentina.

Kami berlari kembali ke kelas.

"Merah siapa cowok itu?!" ujar Nindy.

"Oh dia, dia korban yang jatuh dari atas karena bercanda dengan temannya," balas Merah.

"Se angker ini kah kelas kita?" ujar Valentina tak percaya.

"Mereka ada yang suka membunuh seperti ku dan juga ada yang hanya diam," ujar Merah.

"Jam 02.02 lama banget," ujarku.

Tak lama kemudian segerombolan arwah mengerikan berusaha masuk ke dalam kelas.

"Tutup pintunya," ujarku.

Devan dan Adhian berlari menutup kursinya.

"Kau yakin dia tidak akan masuk? Lupa kalau dia hantu?" ujar Merah.

"Kau ingin membunuh ku?!" ujar Rivania.

"Tidak, itu hanya permintaan mereka, aku hanya akan ikut serta nanti," ujar Merah.

Pintu terbuka, semua arwah masuk. Salah satunya memegang pisau besar.

"Habislah kita," ujar Verisa.

"Tidak! Kita pasti bisa keluar dari sini!" ujar Adhian yakin.

Adhian berlari lebih dahulu, dia melompati tiap meja dan berhasil keluar.

"Aku akan memancing mereka!!!" sorak Adhian.

Semua arwah itu mengejar Adhian. Kami mengendap-endap berjalan keluar.

"Mereka telah menuruni tangga," ujar Devan memimpin.

"Gawat dia di tengah lapangan upacara," ujarku.

"Salah satu tempat sembunyi terbaik dan terdekat adalah labor komputer," ujar Devan.

"Yuk," ujar Rivania.

Kami semua berlari pelan ke labor komputer. Entah napa pintunya terbuka, padahal biasanya terkunci.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang