Marsha Amaranggana benar-benar marah, tapi tak tahu cara terbaik melampiaskannya. Sembari menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor, dia terus melontarkan sumpah serapah. Gadis itu sama sekali tak peduli jika ada yang mendengar dan menganggapnya tak sopan.
Marsha membungkuk untuk mengambil tasnya yang tergeletak di trotoar. "Mereka kira cewek-cewek yang berdiri di pinggir jalan, udah pasti bisa dibayar. Otaknya udah pada rusak semua," ocehnya lagi.
Setelah menegakkan tubuh, dia mencari tisu basah dari dalam tas. Marsha merasakan nyeri di beberapa tempat. Bokong, lutut, dan sikunya sungguh sakit. Dia mengusap dengan hati-hati kulit yang terkelupas dan terluka karena didorong ke dalam got setelah Marsha memukul pria hidung belang tadi. Dia makin murka saat menyadari ada robekan lumayan panjang di rok yang baru dibelinya minggu lalu itu.
"Kamu mau ke rumah sakit? Aku bisa mengantarmu kalau mau."
Saat itulah Marsha menyadari bahwa tadi dia ditolong seseorang. Gadis itu mendongak dan mendapati seorang pria jangkung sedang menatapnya dengan penuh perhatian. Puncak kepala Marsha hanya sedikit melewati bahu laki-laki itu.
"Nggg ... nggak usah. Aku baik-baik aja. Makasih udah menolongku," ucap Marsha. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya. "Marsha."
"Vincent." Laki-laki itu menunjuk ke arah gedung di belakang Marsha. "Itu kantorku. Kalau nggak mau ke dokter, kamu bisa mengobati lukamu di situ."
Marsha menimbang-nimbang. Dia baru saja melewati pengalaman mengerikan saat menunggu angkutan umum. Dia hanya ingin pulang ke tempat indekos setelah hari yang melelahkan. Namun, mendadak ada dua pria bermotor yang berhenti di depan Marsha dan terang-terangan mengajaknya ke hotel. Penolakannya malah membuat salah satu laki-laki hidung belang itu turun dari motor dan berusaha merabanya sembari mengatai Marsha sedang jual mahal.
"Kamu nggak perlu takut, aku bukan laki-laki jahat," imbuh Vincent, setelah Marsha tak membuat keputusan juga. "Di kantorku, ada resepsionis dan juga satpam. Hari ini, salah satu bosku sedang kedatangan tamu penting. Makanya masih ada karyawan di kantor. Selain itu, di sana ada obat-obatan. Lukamu bisa diobati. Kamu aman, Marsha."
Laki-laki itu bicara dengan nada datar yang serius. Kecemasan Marsha pun lenyap. Dia selalu percaya pada naluri. Entah mengapa, dia cukup yakin jika Vincent takkan melakukan hal-hal yang akan disesali Marsha.
"Oke. Aku terima tawaranmu. Aku memang butuh antiseptik." Marsha menunduk sekilas untuk memindai penampilannya yang mengerikan. Roknya yang sobek membuat gadis itu tampak kian menyedihkan.
Vincent tak bicara lagi. Lelaki itu berbalik dan mulai berjalan dengan langkah panjang. Tubuh jangkungnya memudahkan itu. Namun, justru membuat Marsha kesulitan mengimbangi. Dia terpaksa setengah berlari agar tak tertinggal jauh.
"Kamu tunggu aku di depan pintu masuk," kata Vincent sembari menoleh dari bahu kirinya. "Aku mau memarkir mobil dulu."
Marsha baru menyadari jika ada sebuah mobil menepi di tempat yang tak seharusnya. Dugaannya, Vincent hendak meninggalkan kantornya saat melihat drama yang melibatkan Marsha dan dua pria kurang ajar tadi.
Setelah Vincent masuk ke dalam mobilnya, Marsha langsung menuju ke arah pintu masuk gedung berlantai lima itu. Marsha sempat menunggu hampir dua menit sebelum Vincent mendekat. Marsha membiarkan lelaki itu masuk terlebih dahulu. Begitu tangan kanan Vincent mendorong pintu kaca, suara sapaan ramah terdengar.
Meski tidak memiliki pikiran negatif tentang Vincent, Marsha tak mampu menghalau rasa lega karena si resepsionis seorang perempuan. Dia tak bermaksud mendiskreditkan gender tertentu, tapi Marsha merasa lebih aman saat ini.
Vincent meminta gadis itu duduk di sofa yang menghadap ke arah meja resepsionis. "Kamu tunggu di sini sebentar, ya? Aku mau mengambil obat dulu."
"Oke," angguk Marsha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]
General FictionPertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga pula. Ketika cinta tumbuh di antara keduanya, Vincent dan Marsha paham bahwa perbedaan usia adalah hal terakhir yang dirisaukan dalam menja...