Marsha adalah orang yang spontan. Kadang, hal itu menjadi kerugian tersendiri. Bukan baru sekali dua gadis itu dianggap terlalu bersemangat. Atau menunjukkan perhatian yang agak berlebihan. Namun, hal itu sudah mendarah daging. Mana bisa dia mengubah dirinya hingga bisa seperti manusia lain yang dianggap "normal"?
Bertemu Vincent menjadi salah satu hal baik yang terjadi pada Marsha di bulan ini. Kebetulan yang mengasyikkan, pria ini tak mengajukan kritik apa pun yang bisa membuat Marsha tak nyaman. Dia memang tidak peduli dengan penilaian orang, tapi ucapan-ucapan jahat tetap saja bisa mencubit hati, kan?
Di perjalanan menuju restoran pilihan Marsha, Vincent tak mengajukan pertanyaan tentang tempat yang akan mereka datangi. Pria itu malah ingin tahu rencana Marsha karena sekarang tidak memiliki aktivitas tertentu.
"Tetap di kosan. Tadinya sempat pengin nyari kerja lain. Cuma, masih menimbang-nimbang. Waktunya mepet karena nggak lama lagi bakalan wisuda. Kalau aku diterima kerja, kok rasanya nggak fair. Karena nggak niat kerja lama."
Dia melirik Vincent yang menyetir dengan tenang. Pria itu hanya mengenakan jins pudar longgar dan kaus polos berwarna biru langit. Namun, penampilan sederhana itu membetot mata, membuat Marsha agak kesulitan memalingkan wajah. Dia suka menatap Vincent. Pria ini adalah penambat pandang yang menyamankan matanya.
"Kenapa kamu pengin jadi guru, Sha? Mau cerita, nggak?"
Tanpa diminta dua kali, Marsha pun berbagi kisahnya pada Vincent. "Saat aku kelas satu SD, itu masa-masa yang sulit. Karena orang tuaku makin sering berantem dan akhirnya aku pindah ke rumah nenek. Trus mulai sekolah pula dan udah pasti kudu menyesuaikan diri sama teman-teman baru. Untungnya, aku ketemu guru yang luar biasa. Namanya Ibu Ayushinta. Orangnya sabar dan perhatian banget, selalu berusaha bikin murid-muridnya semangat untuk belajar. Kalau ada anak yang keliatan sikapnya beda, radar Bu Ayu langsung jalan. Biasanya diajak ngobrol, dicari tau masalahnya.
'"Dulu, Bu Ayu sering banget meluangkan waktu untuk ngobrol sama aku. Nggak selalu nanya-nanya soal masalahku. Tapi lebih sering cerita gini-gitu, pengalaman yang pernah beliau rasain. Pakai bahasa yang gampang kumengerti. Dulu aku nggak paham. Tapi sekarang aku tau, itu cara beliau untuk bikin aku jadi orang yang optimis. Jadi percaya diri. Aku sih bukan korban bully waktu SD, tapi kondisi rumah ngaruh banget. Aku jadi anak pemalu dan lebih suka ngumpet. Bu Ayu sukses bikin aku tumbuh jadi lebih percaya diri. Kadang malah ada yang merasa kalau kepedeanku itu udah over," guraunya.
Marsha pun kembali terkenang pada guru kesayangannya yang masih sehat walafiat hingga kini.
"Itu yang bikin kamu pengin jadi guru?"
"Iya. Udah pasti aku nggak bakalan bisa sehebat Bu Ayu. Tapi aku pengin berbuat sesuatu untuk anak-anak di kampung halamanku. Jadi, sejak kecil cita-citaku nggak pernah ganti, pengin jadi guru."
"Wah! Nggak pernah ganti cita-cita?" Vincent menoleh sekilas untuk menatap Marsha.
"Nggak. Apalagi setelah nenekku bikin sekolah gratis sejak aku SMP."
Vincent berdecak. "Itu hal yang mengagumkan."
Marsha setuju. "Kakek dan nenekku memang sehebat itu. Mereka peduli banget sama lingkungan sekitar. Jadi, kalau disuruh milih, aku lebih suka ngurus sekolah ketimbang resor milik keluarga."
"Kamu mengejutkan banget lho, Sha," komentar Vincent. "Cewek semuda kamu udah punya idealisme seperti itu."
Marsha tertawa, sama sekali tak merasa tersanjung. "Cuma kamu yang bilang gitu. Teman-teman atau kenalan umumnya menilai kalau aku bodoh. Bukannya bantuin keluarga ngurus resor malah penginnya jadi guru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]
Ficción GeneralPertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga pula. Ketika cinta tumbuh di antara keduanya, Vincent dan Marsha paham bahwa perbedaan usia adalah hal terakhir yang dirisaukan dalam menja...