Vincent mengantar Marsha pulang ke tempat indekosnya di kawasan Batutulis. Sepanjang perjalanan, gadis itu berusaha mengajaknya mengobrol. Salahkan Vincent yang tak pernah tumbuh menjadi seseorang yang supel. Berbeda dengan adik-adiknya, terutama Taura.
"Apa kamu selalu menjawab 'ya' atau 'nggak' doang tiap kali diajak ngobrol?" kritik Marsha.
Vincent menoleh ke kiri, menyadari nada kesal pada suara gadis itu. "Apa kamu selalu secerewet ini?"
"Wuih, galak!"
Vincent meralat, "Bukan galak. Tapi kamu harus paham satu hal. Nggak semua orang bisa sesantai kamu pas ngobrol sama orang yang baru dikenal."
"Kenapa? Takut sesuatu?"
"Kenapa harus takut?" balas Vincent, tak paham.
"Manalah aku tau. Aku, kan, cuma nanya."
Seharusnya, Vincent bisa menghadapi Marsha dengan baik. Dia memiliki seorang ipar yang mirip Marsha dalam hal kecerewetan dan keingintahuan. Dominique, istri Hugo.
"Kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak bercanda," kata Marsha lagi. Gadis itu baru saja meminta Vincent menepi.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Vincent setelah menghentikan mobil. Dia mengabaikan komentar Marsha. Memangnya gadis itu berharap dia bisa melucu seperti para komika?
Marsha membuka sabuk pengamannya. "Tempat kosku nggak jauh dari sini. Di gang itu," tunjuknya ke seberang.
Vincent menyipit melihat gang yang gelap itu. "Apa nggak ada jalan lain yang terang. Kalau ...."
"Biasanya ada lampu jalan, kok! Mungkin bohlamnya putus dan belum diganti. Di sini aman. Kejahatan di sini cuma sebatas buang sampah nggak pada tempatnya atau pipis sembarangan." Marsha membuka pintu mobil. "Makasih banget udah nolongin aku hari ini, Vincent. Makasih juga udah mau nganterin aku pulang."
Vincent ikut keluar dari mobilnya. Marsha memandangnya sembari mengernyit. "Aku anterin kamu ke tempat kos," putusnya.
"Nggak usahlah, cuma sekitar lima puluh meter dari sini, kok!" tolak Marsha. Gadis itu sudah bersiap menyeberangi jalan. Tangan kanannya melambai. "Dah, Vincent. Jangan terlalu serius jadi orang. Ntar gampang bisulan."
Gadis ini sok tahu dan agak menyebalkan. Mungkin bisa juga dianggap kurang sopan. Namun, Vincent memilih untuk mengabaikan semua kata-katanya. Dia cuma ingin memastikan Marsha tiba di tempat indekosnya malam ini. Mumpung dia sudah berada di sini. Selanjutnya, bukan urusan Vincent.
"Aku nggak mau nanggung. Tadi udah nolongin kamu dari dua laki-laki mesum. Sekalian aja nganterin kamu ke tempat kos," balasnya kalem. Dia mengekori Marsha menyeberang jalan.
"Bukan karena penasaran pengin tau tempat kosku?" Marsha mendadak berbalik saat mereka nyaris memasuki gang. "Kamu nggak naksir aku atau pengin nguntit, kan?"
Vincent terpaksa ikut berhenti karena tak mau menabrak Marsha. Gadis ini imut dan menggemaskan, sepanjang tidak membuka mulut. Bibirnya mungil, rambut legam lumayan panjang yang diikat satu, tulang pipi menawan, dagu runcing, mata sayu, hidung mungil.
"Aku nggak pernah naksir cewek yang baru kukenal. Aku juga punya terlalu banyak kerjaan dan nggak akan punya waktu untuk jadi penguntit siapa pun. Aku cuma mau mastiin kamu nggak diajak laki-laki hidung belang lagi untuk threesome."
"Astaga! Kamu bisa juga ngomong panjang ternyata." Marsha berpura-pura kaget. "Okelah, kuhargai niat baikmu. Lewat sini."
Marsha sudah kembali melangkah. Vincent mengikutinya. Mereka sedang menyusuri gang sempit yang gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]
General FictionPertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga pula. Ketika cinta tumbuh di antara keduanya, Vincent dan Marsha paham bahwa perbedaan usia adalah hal terakhir yang dirisaukan dalam menja...