Sebenarnya, kepala Vincent terasa pusing sejak dia bangun tidur. Bukan secara harfiah. Melainkan karena ada begitu banyak pertanyaan yang berkelindan di benaknya. Semua berkaitan dengan Marsha. Lelaki itu antara takut dan takjub karena merasa senang akan bertemu gadis itu lagi.
Hari ini dia sarapan sendirian. Itu hal yang melegakan karena Vincent terhindar dari pertanyaan detail ala Salindri. Beralasan ingin menghindari macet, ibu dan ayahnya pergi dari rumah pagi-pagi sekali menuju Jakarta. Tujuannya, menjenguk salah satu kerabat Julian yang baru melahirkan.
Meja makan dari kayu yang bercat serupa kulit manggis dengan enam buah kursi, menjadi perabot utama di ruang makan. Bersebelahan dengan dapur yang lebih luas, hanya ada pintu kaca dorong yang menjadi pemisah kedua ruangan. Ruang makan keluarga Ishmael boleh dibilang "beratap langit". Seluruh bagian atap ditutup dengan kaca tempered yang membuat ruangan bermandikan cahaya matahari sepanjang siang.
Tidak banyak perabotan yang disusun di ruang makan. Selain seperangkat meja makan, hanya ada lemari sepanjang dua meter yang tingginya mencapai satu setengah meter. Di atas lemari ini tersusun rapi beragam lilin koleksi sang nyonya rumah. Juga aneka kecap dan saus dalam wadah cantik tembus pandang.
Sereal Vincent belum habis saat seseorang memasuki ruang makan itu. Adik bungsunya, Hugo.
"Udah setua ini masih aja sarapan sereal. Kamu bukan balita lagi, Kak," guraunya. Hugo langsung menuju wastafel untuk mencuci tangan sebelum menarik kursi di seberang Vincent.
"Selamat pagi, Go," sindir Vincent.
"Eh iya, maaf. Selamat pagi juga, Kak," sahut Hugo. Lelaki itu memandang Vincent dengan alis mendadak bertaut. "Mama udah tau kalau Kakak berantem tadi malam? Nggak diinterogasi?"
Pertanyaan itu membuat Vincent terbelalak. "Siapa yang bilang kalau ...."
"Nggak ada yang bilang. Tapi memarnya keliatan. Nggak bisa disembunyiin," tunjuk Hugo dengan tangan kanannya. "Padahal kemarin ngomongnya mau ke dokter. Atau, kejadiannya pas pulang dari dokter? Kenapa bisa berantem, sih?"
Vincent menghabiskan serealnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Aku nggak berantem tapi dipukul suaminya Mindy."
"Hah?" Tangan Hugo yang terulur untuk mengambil selembar roti tawar polos, terhenti di udara. "Memangnya Kakak ngapain sama Mindy sampai suaminya marah? Jangan bilang kalau kalian selingkuh! Karena nggak keren banget main-main sama bini orang walau dulu pernah jadi cinta matimu."
Vincent bersandar di kursi dengan ekspresi malas. "Aku baru ngomong satu kalimat, tapi kamu udah bikin plot ala sinetron." Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Ngapain kamu ke sini sendirian? Kenapa nggak ngajak Domi dan Sarah?"
"Aku ada perlu dikit sama Papa, niatnya cuma mampir sebentar. Makanya cuma sendiri. Tapi Bang Romi bilang, Mama dan Papa pergi sejak pagi." Hugo menyebut nama salah satu satpam yang berjaga di rumah mereka.
"Mereka ngebesuk Mbak Lala yang baru melahirkan," beri tahu Vincent. "Kayaknya rada mendadak perginya. Baru dikabarin kemarin."
Hugo mulai mengolesi rotinya dengan selai jeruk. "Jadi, gimana ceritanya sampai suaminya Mindy bisa mukul kamu, Kak?"
Vincent menceritakan apa yang terjadi secara ringkas. Hugo mendengarkan sembari mengunyah rotinya. Laki-laki itu menunjukkan ketertarikan besar begitu Vincent menyebut-nyebut nama Marsha. Itu hal yang tak bisa terhindarkan. Mustahil menceritakan apa yang terjadi tanpa menyinggung nama gadis itu.
"Oke, kita berhenti sampai di sini aja soal Mindy dan suami gilanya. Udah nggak menarik." Hugo menatap Vincent dengan mata berkilat. "Sekarang, ceritain gimana Kakak bisa kenal Marsha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]
Ficción GeneralPertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga pula. Ketika cinta tumbuh di antara keduanya, Vincent dan Marsha paham bahwa perbedaan usia adalah hal terakhir yang dirisaukan dalam menja...