Seharusnya, tak ada yang bisa menggoyahkan hati Marsha. Dia bukan tipe gadis peragu atau plinplan. Marsha memang sempat meminta waktu pada Vincent untuk memikirkan lamaran pria itu. Pada akhirnya, Marsha cuma butuh waktu sekitar satu jam setengah untuk memantapkan hati. Gadis itu pun menerima lamaran kekasihnya tanpa ragu.
Vincent tampak sungguh-sungguh menyiapkan segalanya. Bahkan kedua adik dan para ipar Vincent pun sudah begitu ribut menyusun rencana resepsi untuk mereka. Hugo bahkan sudah "membocorkan" tempat tinggal Marsha dan Vincent kelak setelah mereka menikah.
"Kita bakalan tetanggaan, Sha. Rumah kalian nggak jauh dari sini. Kak Taura juga bakalan tinggal satu kompleks dengan kita dalam waktu dekat."
"Rumahnya juga nggak jauh dari sini?" tanya Marsha sambil tertawa. Dia melihat Hugo mengangguk. "Kenapa Vincent nggak pernah ngomong apa-apa, ya?"
"Oh, mungkin kakakku itu pengin dianggap misterius," Hugo menyeringai. "Jadi gini, sejak beberapa tahun lalu, Papa udah beliin rumah untuk ketiga anaknya di sini. Cuma, nggak ada yang tau soal itu sampai aku menikah. Termasuk Mama."
Marsha menyela, "Maksudmu, itu jadi semacam kado pernikahan?"
"He-eh. Tapi, awalnya Kak Taura sok-sokan nggak mau pindah ke rumahnya. Dia beralasan kalau punya selera sendiri soal rumah. Mentang-mentang punya perusahaan pengembang," gerutu Hugo. "Untungnya Kak Taura akhirnya mau juga pindah karena apartemennya terasa makin kecil sejak dia nikah. Apalagi setelah Aileen makin aktif bergerak."
Marsha mendadak ingin tahu, rumah seperti apa yang akan ditinggalinya bersama Vincent. Mereka belum pernah membahas masalah itu secara spesifik. Vincent memang pernah bertanya apakah Marsha ingin mereka tinggal di suatu tempat secara khusus. Kala itu, Marsha menjawab, tak masalah di mana mereka akan menetap. Sepanjang tidak bertahan di tempat indekosnya atau malah serumah dengan orang tua Vincent.
"Rumahnya Vincent setipe dengan rumah kalian?" tanya Marsha, akhirnya.
"Iya, setipe. Karena Papa nggak membeda-bedakan anaknya. Jangan kira mentang-mentang calon suamimu anak sulung, bakalan dikasih rumah paling gede," seloroh Hugo.
Marsha tertawa geli. "Nggak apa-apa setipe. Asal rumahnya lebih mahal dibanding rumah kalian," balasnya.
Rencana pernikahan mereka berjalan mulus. Marsha bahkan hampir menangis saat Vincent memberi tahu niatnya untuk mengadakan resepsi sederhana di Ubud saja. Demi menghormati kakek dan nenek Marsha. Lelaki itu memikirkan segalanya dengan begitu mendetail, membuat Marsha merasa diistimewakan. Kebahagiaannya berlipat ganda karena mereka mendapat restu dari orang tua Vincent. Hanya kakek Marsha saja yang terkesan cemas.
"Kamu yakin udah siap untuk menikah sekarang ini, Sha? Kamu masih muda, lho," Afrizal mengingatkan. "Kakek tau kalau kamu selalu bersikap lebih dewasa dibanding usiamu. Kecuali saat membela Vicenza di depan Kakek. Tapi, Shasha sayang, menikah itu bukan perkara main-main. Itu salah satu persoalan paling serius di dalam hidup seseorang."
Kakeknya benar, tentu saja. Namun, Marsha tak pernah meragukan keputusan yang sudah dibuatnya. Karena itu, dia menjawab dengan tegas, "Aku yakin, Kek. Sangat yakin."
Perbincangan via telepon genggam itu sempat terhenti oleh keheningan yang membuat Marsha grogi. Hanya terdengar tarikan napas kakeknya di seberang. Namun, dia belum sempat membuka mulut saat Afrizal kembali bicara.
"Kalau sudah seyakin itu, Kakek nggak akan ngomong apa-apa lagi. Tapi, nanti Kakek harus ngobrol sama Vicenza. Dia harus tau kalau dia sungguh beruntung karena cucu Kakek mau jadi istrinya."
Tawa Marsha pecah. "Vincent, Kek. Vincent."
"Iya, Kakek tau. Vicen ... za," sahut Afrizal, usil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]
Ficțiune generalăPertemuan dengan Marsha melalui kejadian yang tidak terduga mengubah hidup Vincent ke arah yang tidak terduga pula. Ketika cinta tumbuh di antara keduanya, Vincent dan Marsha paham bahwa perbedaan usia adalah hal terakhir yang dirisaukan dalam menja...