4 :: my every morning pt.2

414 49 0
                                    

Seperti biasa, pagi-pagi saat aku bangun, pasti Rilo sudah ada di dalam apartemenku.

Tapi kali ini cowok itu tidur di sampingku. Hanya memakai celana pendek sebagai teman tidurnya, dan selimut cadangan bergambar Doraemon yang kuyakin pasti langsung diambil dari jemuran karena selimut itu baru aku cuci kemarin.

Rilo mengucek matanya. Aku menyimpan tasku di single sofa, lalu melangkah menuju dapur untuk membuat sarapan.

"Balik jam berapa lo?" tanyaku sambil lalu.

Rilo mengikutiku ke dapur. "Jam 3. Nanti gue ke sana lagi jam 10."

"Kenapa nggak di sana aja, biar nggak bolak-balik? Kan lumayan jauh juga tempat syutingnya."

"Gue nggak bisa tidur di sana."

Aku membalikkan roti panggangku. "Alah, waktu gue nemenin lo kapan hari itu lo bisa aja tidur."

"Kan ada lo."

"Apa hubungannya," aku mencibir, lalu meletakkan dua lembar roti panggang di hadapan Rilo. "Selai cokelat atau kacang?"

"Kacang."

Aku mengernyit. "Padahal gue beli cokelat buat lo doang."

Rilo terkekeh. "Kalo nggak ikhlas ngapain nawarin, dong?"

Aku mendengus. "Itu kan cuma basa-basi, Rilo." Tapi tak ayal aku mengoleskan juga selai kacang kesukaanku di lembaran roti Rilo. "Berapa hari lagi syutingnya?"

"5 scenes lagi. Yah, seminggu nggak nyampe lah kalo si Tatiana bisa diajak kerja sama."

"Tatiana udah profesional kali."

"Ya, berarti kurang dari seminggu gue bisa kuliah normal lagi."

Aku duduk di sampingnya. "Tapi gue nggak ngebayangin banget kalo lo masuk kuliah. Pasti pada heboh parah."

"Udah biasa," balasnya tak acuh.

Aku memutar bola mata. Rilo dan sifatnya yang selalu menggampangkan semua hal. Kalau dia kewalahan menghadapi semua fans-nya, baru dia nelepon aku melas-melas. Apa faedahnya nelepon aku, kutak tahu juga.

"Kalo udah lulus, lo kerja di perusahaan keluarga gue aja ya, Ra? Jadi asisten atau sekretaris gue, lah."

"Nggak tahu, ya," gumamku. Aku menekuri roti panggangku. "Masa di kampus ketemu lo, di rumah ketemu lo, di kantor juga ketemu lo? Ya bosen dong."

Tidak ada tanggapan dari Rilo. Aku akhirnya mendongak dari rotiku, menatapnya yang tiba-tiba memandangku memelas.

"Apaan sih?"

"Lo bosen sama gue, Ra?" tanyanya pilu. "Padahal gue nggak pernah bosen sama lo, padahal gue selalu kangen sama lo."

Aku memutar bola mata. "Pantes lo jadi aktor. Drama King gini, kok!" Kutelan gigitan terakhir dari roti panggang. "Gini ya, Rilo-ku sayang. Iya, gue bosen sama lo."

Rilo menatapku makin pilu. "Ra ...?"

Aku mengedikkan bahu. "Tapi bukan berarti gue nggak pernah kangen lo, Rilo. Ya iyalah gue pernah kangen sama lo. Sering, malah. Apalagi kalo lo lagi syuting ke luar kota, atau ke luar negeri."

"Terus kenapa lo nggak mau kerja di perusahaan gue?" tanya Rilo menuntut.

"Hmmm, bisa lah jadi pertimbangan. Tapi gue nggak mau jadi asisten atau sekretaris lo. Udah cukup belasan tahun ini gue ngurusin lo. Gue nggak mau lagi 24/7 ngelihat muka lo terus." Aku memakan rotiku lagi. "Lagian, itu nepotisme namanya nggak sih, secara, kan lo udah tahu gue."

"Yah, nggak juga sih, kan yang ngurusin gituan HRD, bukan direktur."

"Tapi masa direktur nggak mau ketemu sama calon bawahan langsungnya, sih? Kalau nggak cocok tapi udah keterima, gimana? Dipecat gitu?"

"Kan direktur bisa request mau yang kayak gimana. Lagian pasti HRD udah punya banyak pertimbangan. Lagian direktur kan sibuk banget buat ngurusin semacam calon bawahan langsungnya doang, apalagi wawancara-wawancara gitu. Palingan dikasih CV aja, terus direkturnya ngasih pertimbangan juga buat HRD milih yang paling kompeten." Rilo mengangkat bahu. "Kalau bapak gue sih nggak pernah tatap muka langsung sama calon bawahan langsungnya sekalipun. Dia kepalang sibuk keliling dunia."

"Hmmm," aku manggut-manggut.

"Terus, emang lo mau lamar di mana?"

Aku tersenyum misterius. "Ada deh, kepo aja lo. Kuliah aja dulu yang bener."[]

my story of being rilo's best friendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang