7 :: my new popularity

364 47 0
                                    

Setelah kami berbaikan kemarin, hari ini Rilo menempeliku seharian. Angel yang sudah berkenalan langsung dengannya pun sampai ternganga dibuatnya kala dia tahu aku sahabat selebritas muda itu.

Angel mencecarku dengan berbagai pertanyaan saat kami sedang hanya berdua di toilet. Tapi tidak aku hiraukan. Aku malas meladeni yang seperti itu. Hingga akhirnya cewek itu lelah sendiri, dan hanya mencaci-makiku setelahnya.

Anak-anak kampus pun melotot sepanjang hari melihat Rilo yang dekat sekali denganku. Aku, yang notabenenya adalah seorang mahasiswi biasa dari keluarga biasa dan lingkaran pertemanan biasa, bisa dekat banget dengan Rilo yang seorang selebritas papan atas.

Aku sangat berusaha untuk tidak memedulikan tatapan mereka. Tapi lama-lama risih juga dilihatin sepanjang hari begitu. Rasanya kehidupanku berubah drastis. I was an invicible girl. And I miss that.

Sore ini, Rilo ikut denganku nongkrong dengan gengannya Bara. Sebenarnya sih kami ini bukan gengan. Tapi karena sering banget nongkrong bareng dan orang-orangnya sebagian besar itu-itu saja, jadinya orang-orang melihatnya sebagai gengan. Padahal kami tidak pernah mendeklarasikan "kelompok belajar" kami sebagai gengan.

Naufal terlihat diam di ujung meja. Dia yang biasanya nyeletuk mulu kayak burung beo, mendadak diam karena canggung ada Rilo di antara kami. Aku tak menyalahkan Naufal sih, karena Rilo memang agak mengintimidasi kalau orang bertemu langsung dengannya dalam mode Rilo si darah biru.

"Pada mau mesen, nggak?" Akhirnya aku memecah keheningan.

"Mau dong. Gue lagi laper, nih. Mau siomay ya, Ra," kata Putri. Aku mengangguk.

"Yang lain?"

"Mau ikut aja." Bara berucap.

"Gue juga ikut aja, deh." Naufal ikutan.

"Gue ikut juga deh." Putri juga ikutan.

"Gue sini aja, jaga tempat." Angel berucap. "Sama Dimas, ya Dim?"

Dimas hanya mengangguk. Cowok pendiam itu memang irit sekali bicara. Kecuali sama Putri, cewek pujaan hatinya. Padahal kodenya udah keras banget, tapi tetep aja Putri mah nggak peka.

"Lo ikut nggak, Ril?" aku bertanya.

"Ikut."

Dan kami semua berjalan dalam keheningan.

"Eh, gue ke sana dulu ya, siapa tahu ada yang baru," Naufal akhirnya berucap, diikuti Bara dan Putri. Aku hanya mengangguk. Aku tahu mereka tidak nyaman dengan keberadaan Rilo di tengah-tengah kami. Tapi ya gimana, Rilo-nya maunya nempel mulu.

"Temen-temen lo pendiem, ya?"

Aku mendengus. "Mereka itu takut sama lo, tahu."

"Loh, gue kan nggak ngapa-ngapain?" Rilo mengernyit.

"Iya, nggak ngapa-ngapain. Gue juga bingung, kenapa lo segitunya ditakutin ya? Bukan ditakutin sih, tapi lo tuh kayak mengintimidasi. Jadinya kita semua tuh kayak serbasalah gitu kalo mau bertingkah."

"Ya elah." Rilo mendengus, lalu langkahnya berhenti di warung jus buah. "Bang, mangga satu, alpukat satu."

"Siap, Mas Rilo!"

"Tinggal ya, Bang."

"Iya, iya, monggo."

Kami berjalan lagi menuju warung Bude Tarti, yang menjual varian Indomie.

"Bude, soto mie satu, ayam bawang satu, ya!"

"Baik, baik, Mas Rilo!"

Sembari menunggu, kami duduk di bangku yang kosong. Agak jauh dari bangku tempat Angel dan Dimas menunggu, tapi masih bisa melihat apakah yang lain sudah balik atau belum.

"Jadi gimana dong?" tanya Rilo.

"Apanya?"

"Temen-temen lo-nya. Gue harus gimana di depan mereka?"

"Ya gimana ya, nggak tahu juga sih. Lagian, kok lo nggak ngumpul sama temen-temen lo yang itu sih?"

Rilo mendengus. "Mereka mah kerajinan bolos. Gue kan mau kuliah yang bener."

Aku mengangguk-angguk. "Ya udah, lo santai aja di depan mereka. Banyak senyum, ramah, mendekatkan diri. Yah, kayak mode artis lo itu lah."

"Loh, emang yang tadi itu gue mode apa?"

"Yang tadi itu mode bangsawan! Mode darah biru! Ya pantes aja pada takut. Mereka takut lo gusur rumah mereka, kali!"

Rilo terbahak. "Ya nggak mungkin lah! Why i have to do such a thing?!"

Aku mengangkat bahu. "I just guessing the best from my head."[]

my story of being rilo's best friendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang