"Kenapa?"
Aku melirik sedikit ke arah Rilo yang sedang menyetir dengan santai. Matanya sesekali melirik ke arahku karena di depan sedang terjadi kemacetan.
Aku mengangkat alis pura-pura bodoh. "Kenapa apanya?"
"Murung amat dari tadi," jawabnya sambil melajukan mobil dengan pelan.
"Nggak pa-pa."
"Nggak pa-panya cewek itu biasanya ada apa-apa, loh?"
Aku mendengus. "Hafal banget. Udah sering, ya?"
"Udah sering lah, aku kan punya sahabat cewek yang moody-an dan sukanya jawab nggak pa-pa," balasnya ringan.
Aku memutar bola mata.
"Serius, kamu kenapa? Dari tadi murung aja, auranya nggak enak," lanjutnya. "Ada yang gangguin?"
Ingin sekali aku berteriak, "IYA! ADA YANG GANGGUIN TADI DEDEMIT TOILET!"
Namun, yang kulakukan hanyalah menggeleng pelan.
Kurasakan Rilo menatapku lekat, seperti tak percaya. Aku balik menatapnya sambil mengangkat alis.
Rilo tersenyum. Tangannya yang besar mengusap puncak kepalaku. "Iya, deh."
Rilo kembali menjalankan mobilnya, sementara tanganku menekan tombol music player mobilnya. Seketika sebuah lagu terdengar memenuhi ruang sempit ini.
By the time i was your age, i'd give anything
To fall in love truly was all i could thinkAku tertegun. Sial. Liriknya benar sekali. Aku hanya memikirkan untuk jatuh cinta dan punya pacar, untuk itulah aku menerima Rilo, tak peduli dia sangat terkenal dan aku akan dapat konsekuensinya.
Aku melirik Rilo yang mengetukkan jemari di atas setir, menikmati lagu yang sedang mengalun.
"Ril."
"Hm?" Rilo menoleh ke arahku serta-merta. Aku mengalihkan pandangan dengan gugup.
"Sebenernya ... lo nggak sesuka itu kan sama gue?" tanyaku hati-hati.
Rilo mengerjap. "Maksudnya?"
Aku menarik napas. "Yah, maksudnya kita pacaran karena frustrasi aja, kan? Maksud gue, kita nggak ada perasaan ke satu sama lain, kan?"
Rilo mengernyit. Terlihat sekali dari ekspresinya kalau dia tidak suka dengan ucapanku barusan.
"Gue nggak macarin lo karena frustrasi."
"Yah," aku menunduk, memainkan jemari. "Gue yang waktu itu frustrasi."
"Ya, terus?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Ya, terus, nggak tahu sih, tapi kita kayak yang kecepetan nggak sih?"
"Nggak, tuh?" Rilo mengedikkan bahu dengan santai. "Kita udah sahabatan belasan tahun, memang kenapa kalau kita mau naik jenjang? Lagian, kita itu melebihi orang sahabatan, lo nyadar nggak? Jadi kenapa nggak diresmiin aja sekalian? Toh, tanpa kita sadari perasaan itu udah ada entah dari kapan."
"Lo yakin?"
"Apanya?"
"Perasaan itu." Aku menatapnya skeptis. "Lo yakin punya perasaan itu?"
"Hmmm," Rilo bergumam panjang. "Yakin sih, soalnya I can't get rid of you. I can't stop thinking of you even there's other girl beside me." Rilo menatapku. "I just can't get off of you."
Aku mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, menahan pipi yang merona. Thanks to cahaya remang-remang yang berperan besar menyamarkan pipi kemerahan memalukan ini.
"Tapi nggak pa-pa kalau lo masih belum punya perasaan itu," Rilo melanjutkan. Dia menjalankan mobilnya dengan santai. "Toh, kita masih punya banyak waktu dan gue yakin usaha nggak akan mengkhianati hasil."
Aku mengalihkan pandangan ke jendela di samping, dengan kepala terkulai ke sandaran jok. Hah, entahlah. Apa aku bisa mencintai Rilo sebagai wanita ke prianya? Setelah bertahun-tahun aku sahabatan dengannya, sudah tahu baik-buruk, bagus-jelek, sikap maupun sifatnya, apa aku bisa memandangnya sebagai pria?
Aku menyangsikan itu.
Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan besar melingkupi jemariku.
"Jangan dipikirin, itu tugas gue buat meyakinkan lo. Lo cukup nikmatin aja usaha gue."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
my story of being rilo's best friend
Short StoryLira pengin banget ngerasain rasanya punya pacar. Tapi entah kenapa setiap sudah dekat dengan cowok, Lira selalu stuck di tahap PDKT. Bahkan tak jarang setelah PDKT, si cowok menjauh seakan tak mengenal nama Lira. [] Rilo sama sekali nggak rela kal...