25 :: my first kiss

342 39 0
                                    

Aku tidak sadar beberapa saat. Saat otakku sudah bisa mencerna apa yang sedang terjadi, tanganku sudah mengalung di lehernya, dan aku sudah pasrah di dalam kungkungannya. Bahkan aku pasrah saat Rilo mendesakku ke sofa sampai aku merebahkan diri dengan dia menjulang di atasku.

Rilo melakukannya dengan lembut, but i know he still trying to hold it back for me. Dia tidak ingin membuatku merasa terpaksa melakukannya, dan masih memberiku kesempatan untuk menghentikannya kalau aku mau.

The problem is, i don't want him to stop.

Maka aku membalas lumatan Rilo dengan kaku, since this is my first kiss and i won't regret it at all, lalu makin menariknya untuk mendesakku. Aku suka perasaan ini, debaran jantung yang bertalu-talu, wajah panas yang memerah, dan lumatan Rilo yang memabukkan.

Damn. He is great, but i also have no one to compare, tho. But he is amazing, indeed.

Rilo makin memperdalam ciuman kami, mendesak tubuhku until his chest squeeze mine, dan tangannya mulai meremas pinggangku dalam kefrustrasian. Aku juga frustrasi because i need THAT DAMN OXYGEN!

Aku gemas sekali mengetahui bahwa "membutuhkan udara" bisa menjadi perusak momen nomor satu bagi para pasangan.

Jadi aku memukul dadanya, memintanya untuk berhenti, lalu Rilo berhenti. Kami bertatapan sesaat, sebelum Rilo membawa wajahnya ke leherku dan menguburkannya di sana.

Aku masih terengah-engah dengan wajah memerah, rambut berantakan, dan pikiran melanglang buana--but of course the concern is that damn kiss.

"Shit," Rilo mengumpat. "You always be my daydream, but the reality also always hits."

Aku mengernyit tak mengerti, walaupun aku takut juga tak memenuhi ekspektasi. "Am i ... that bad?"

Rilo langsung mengangkat kepalanya, menatapku dengan mata melebar. "That bad? You're kidding. That was amazing kiss that i ever had. And also another kisses from you soon."

Aku menyipitkan mata, lalu memukul dadanya kesal.

Rilo tertawa, lalu memelukku erat. "God! I love you so much!"

Aku diam-diam tersenyum sambil melesakkan wajah di lehernya. I'm happy with his confess, but i'm more happy with the realization that hit me.

That maybe, i have started to loving him.

[]

Kami masih bergelung di sofa bed sambil menonton tayangan video Youtube di televisi. Rasanya nyaman. Aku merindukan rasa ini bersama orangnya.

Kami mengobrol banyak hal, tentang reaksi kedua orang tua kalau kami beri tahu status kami sekarang--yang, omong-omong, pasti memancing kehebohan karena mamanya Rilo memang dari dulu selalu menjodoh-jodohkan kami--, tentang kelanjutan masa depan hubungan kami, tentang keberatan kami, tentang kegundahanku, tentang kesungguhan usahanya untuk membuatku mencintainya--yang, omong-omong lagi, membuatku merona karena aku sudah sadar betapa aku menyayanginya dan started to loving him--, dan bahkan lamaran impian yang kuinginkan--yang ini aku hanya memutar bola mata kendati tetap menyampaikan lamaran impianku.

Banyak sekali deep talk yang kulakukan bersama Rilo yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya. Ini terasa aneh, tapi nyata. Aku tidak pernah membicarakan tentang hubungan bersama Rilo sebelumnya, ataupun lamaran impian, ataupun cincin kesukaan--serius, ini ngapain Rilo mikir sampai sini, sih?--, ataupun keseriusan dalam berkomitmen. Aku benar-benar tak menyangka yang melakukan future deep talk bersamaku akhirnya adalah Rilo.

Like, seriously? Aku tidak pernah memandang Rilo lebih dari sahabat, dan, walaupun aku pernah menyukainya, aku tidak pernah membayangkan akan melakukan ini bersamanya. Semuanya terasa seperti mimpi, dan aku harap mimpi ini tidak akan segera berakhir.[]

my story of being rilo's best friendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang