9 :: my curiosity pt.2 that become insecurity

340 43 1
                                    

Karena penasaran, aku terus membujuk Rilo untuk membaca sisa surat di laci nakas. Aku benar-benar ingin tahu siapa saja yang berani menyampaikan perasaannya kepada Rilo secara langsung.

Rilo menyerah akan bujukan (baca:pemaksaan) ku tepat pada detik keenam puluh aku ngambek padanya. Ngambek as you know as, mogok bicara, hanya menatapnya sinis, dan tidak ingin dekat-dekat dengannya. Akhirnya, dengan semangat berlebih, aku menarik Rilo kembali ke tempat tidur.

Surat kali ini tidak ada nama pengirimnya di luar surat. Amplopnya warna biru, polos, dan aku bisa menebak bahwa cewek ini pemalu, tapi bisa agresif juga.

"Rilo, dengerin!" sentakku. Cowok itu hanya main ponsel saja tanpa peduli pada surat-surat ini. Well, dia hampir tidak peduli pada apa saja kecuali pada apa yang dianggapnya penting, sih.

"Kan yang buat denger itu kuping," jawab Rilo menyebalkan.

Aku mengabaikannya. Mulai membuka surat dengan gunting yang sudah kusiapkan, karena sebagian besar surat itu dilem amplopnya.

"Kayaknya cewek ini pemalu, deh. Amplopnya nggak ada nama pengirimnya, polosan aja. Terus warna biru muda, warna kalem-kalem gitu, nggak nyentrik kayak warna pink," komentarku.

"Kalo dia pemalu, dia nggak bakal blakblakan ngasih surat ke cowok."

"Mungkin dia ngasih ke lo karena fans," belaku. "Bukan karena naksir ataupun jatuh cinta gitu."

"Coba, baca."

"Untuk Rilo Daivadakara, my number #1 artist of all time.

Rilo, makasih karena udah muncul di dunia ini, ya.

Makasih karena udah lit up my little world. Walaupun menurut kamu biasa aja, tapi menurut aku, kamu itu luar biasa.

Makasih karena udah menghibur aku, di saat aku sedih.

Makasih juga karena dari kamu, aku belajar untuk membenahi hidup dan melanjutkan apa yang semestinya aku perjuangkan di dunia ini.

Rilo, aku sangat-sangat-sangat berterima kasih padamu. Mungkin kamu berpikir, ah apaan sih nih cewek lebay banget. Hehehe. Tapi percayalah, kamu itu sudah menyelamatkan aku, Ril, secara tidak langsung.

Aku mau cerita, tapi nggak di surat begini. Kalau ada waktu, datanglah ke danau di tepi hutan kampus. Aku bakal ceritain semuanya yang membuat aku sangat berterima kasih padamu.

Dan Rilo, I just want you to know,

I love you.

With a thousand love,
Siska Lilian."

Aku terdiam membacanya. Baru kurasakan sesak di dada kala orang lain menganggap Rilo itu penting, sedangkan aku masih saja menganggap Rilo menyebalkan dan tidak berguna. Aku merasa buruk karena aku yang dijadikan sahabat olehnya dari kecil. Seharusnya aku tidak pantas menerima perhatian, ataupun Rilo-nya sendiri, kalau aku saja masih menganggap kehadirannya mengganggu. Padahal banyak di luar sana, orang-orang yang dengan tulus dan tangan terbuka menerima Rilo dalam hidupnya, bahkan mendambakannya.

Aku melipat surat itu, lalu memasukannya lagi ke dalam amplop dengan pelan. Lalu mulai membuka amplop selanjutnya.

Tapi sebuah tangan besar merebut amplop itu dari tanganku.

Aku menatapnya heran.

"Udah deh, nggak usah baca-bacain lagi." Rilo tampak kesal. "Kalo cuma buat lo kepikiran kayak gitu, mending nggak usah deh."

"Apaan sih?" Keningku mengernyit, antara bingung dan takut kalau saja Rilo bisa membaca pikiranku. "Kepikiran apanya?"

Rilo mendengus. "Udah deh, berhenti aja." Rilo merebut semua surat itu, lalu meletakannya di dalam nakas paling bawah. Dikuncinya nakas itu, lalu dibuang kuncinya entah ke mana.

Aku tersentak. "Woy, mana kuncinya!" Aku mencekal tangan Rilo, tapi percuma. Kuncinya sudah raib.

"Weekend itu hari milik kita. Jangan ngerusakin mood hari kita, deh." Rilo mengangkat pinggangku hingga aku memekik, lalu membantingku ke atas kasur. Dia juga langsung membanting tubuhnya sendiri di sebelahku, lalu mengurungku yang hanya bisa meronta tanpa daya di bawah kungkungan tangan kekarnya.

"Udah, diem. Tidur aja lagi napa?"

Akhirnya aku berhenti karena tahu itu percuma. Aku memukul lengannya yang melingkari pinggang, lalu berbalik memunggunginya.

"Gue jadi merasa buruk tahu, Ril."

Hening. Sepertinya Rilo masih menunggu aku melanjutkan, tapi sayangnya aku tidak ingin melanjutkan.

Rilo mencium belakang kepalaku. Pelukannya terasa makin erat, yang membuat sesakku bertambah, bukan karena pelukannya, tapi karena seperti ada bongkahan yang menyumbat dadaku, menyebabkanku ingin menangis.

"Jangan gitu. Lo sahabat terbaik yang pernah gue punya. Walaupun lo masih jahat sama gue, tapi toh gue nggak keberatan. Malah, gue seru."

"Tapi banyak orang yang mengagungkan keberadaan lo, nganggep lo sebagai penyelamat atau apalah. Dan gue merasa buruk karena cuma nganggep lo cowok playboy."

"Malah, kalau gue sama orang yang mengagungkan keberadaan gue, kayak yang lo bilang, gue bakalan bosen, lah. Mereka bakalan segan sama gue, sampai nggak berani ngajak gue ngobrol apalagi bercanda. Gue suka keadaan kayak gini, dan gue nggak menyesal ketemu lo."

Aku memeluk guling.

Rilo tidak bicara lagi. Dia hanya memelukku erat, seperti biasanya.[]

my story of being rilo's best friendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang