"Hmmm," aku bergumam panjang, tak yakin harus mulai dari mana. Tapi kuyakinkan diri lalu berkata sebelum niatku goyah, "Kenapa kamu tiba-tiba tinggal di sini lagi?"
"Loh?" Rilo menaikkan alis. "Bukannya kamu yang minta aku supaya nggak tidur di apart kamu mulu? Bahkan kamu protes mulu kan kalo aku nginep?"
Aku bergumam panjang lagi, mengalihkan mataku darinya. "Aku curhat sama Sergum, since dia kenal kamu di sisi yang nggak pernah aku lihat--"
"Hah?" Rilo seems completely lost. "Kamu udah lihat semua sisi aku kali?"
"Yah, pokoknya gitu!" tegasku. "Udah belum nih, mau aku lanjutin nggak?!"
"Iya, iya maaf," gumamnya sambil menepuk puncak kepalaku dua kali. Gestur boyfriend-able-nya yang selalu membuatku meleleh.
Aku menarik napas lagi. "Ya, jadi aku curhat sama Sergum, since dia temen kamu di tongkrongan yang nggak pernah aku masuki, dan dia kenal kamu di sisi yang itu, dan dia juga yang paling bikin aku nyaman, dan dia juga yang paling enak ngajak ngobrol aku.
"Ya, intinya curhatan aku adalah pertanyaan tentang kamu sih, gimana di tongkrongan, suasana tongkrongan gimana, orang-orang tongkrongan gimana, dan sebagainya-dan sebagainya. Gitu." Aku melirik ke arahnya. Dia masih mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya tidak lepas menatapku.
"Terus," aku melanjutkan. "Since kamu udah confess perasaan kamu ke aku," ini beneran, guys. Rilo memang sudah confess those three strong words ily ke aku, yang aku tanggapi hanya dengan menganga dan wajah merah sepenuhnya, tapi belum aku balas karena, well, aku saja masih belum yakin. Apalagi hubungan ini memang hanya dilandasi dengan kefrustrasianku. "Aku jadi mikir, perasaan aku yang sesungguhnya itu gimana sama kamu. Apakah cuma nganggap kamu sahabat doang, apakah aku memang sayang, apakah perasaan itu memang udah ada tanpa aku sadar. Karena nggak adil kan, kalo kamu udah confess tapi ternyata aku memang bukan jodoh kamu?"
Rilo tak berekspresi. Aku meneliti wajahnya yang tak menampilkan perubahan berarti, lalu kembali melanjutkan, "Dan semua observasi itu menuju pada satu kesimpulan; aku nggak bisa ngelanjutin hubungan ini."
Rilo tak berekspresi selama beberapa saat, sebelum dia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Kepalanya mendongak beberapa saat, sebelum kembali menatapku. "Kenapa?"
"Karena, somehow, aku lebih suka di saat kita jadi sahabat. Kita kayak, you know, nggak ada batesan, tapi status itu sendirilah yang jadi batesannya. Dan--"
"Kamu udah tahu apa yang jadi concern aku," itu pernyataan.
Aku diam, sebelum mengangguk. "Itu juga yang mengganggu aku belakangan ini."
Rilo menghela napas lagi. "Itu nggak usah kamu pikirin, Ra. Yes, aku terbawa perasaan dan keadaan. Yes, we have no boundaries at all. Yes, you don't seducing me yet you are so sexy that i can't hold it back sometimes. So what? That's my problem."
Aku merona, tapi berusaha tetap fokus. "Tapi aku juga nggak mau kayak gini. Rasanya kita jadi jauh dan aku nggak punya cuddle buddy lagi. Mungkin itu yang ngebuat aku nyaman sama status sahabat kita. Because we have no boundaries yet we have at the same time."
Rilo mengawasiku beberapa saat, lalu menghela napas. "Sini," katanya sambil membuka tangan kirinya.
Aku mengernyit menatapnya. Tak mengerti. Pembahasan kami belum selesai, kan?
"Cuddle buddy, right? I can be that cuddle buddy if you want."
"You are my cuddle buddy. That's why--"
Rilo tahu-tahu maju sampai wajahnya tepat berada di depanku. Bahkan aku bisa merasakan napas panasnya menerpaku. Aku terpaku.
"You know what? Fuck it!"
Lalu Rilo menerjang maju.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
my story of being rilo's best friend
ContoLira pengin banget ngerasain rasanya punya pacar. Tapi entah kenapa setiap sudah dekat dengan cowok, Lira selalu stuck di tahap PDKT. Bahkan tak jarang setelah PDKT, si cowok menjauh seakan tak mengenal nama Lira. [] Rilo sama sekali nggak rela kal...