12 :: my confusion

315 39 0
                                    

Hari ini Rilo resmi masuk Unit Kegiatan Mahasiswa basket. Waktu itu sih hanya spik-spik saja karena Bara dan Naufal begitu seru membicarakan UKM yang mereka geluti setahun belakangan itu. Apalagi mereka akan berlomba dua bulan lagi. Entahlah apa nama perlombaannya. Tapi katanya itu perlombaan terbesar di Indonesia yang diadakan setahun sekali di tiap kota.

Aku tahun kemarin menonton pertandingannya. Seru banget! Mahasiswa dan mahasiswi berkumpul di satu tempat untuk membela universitasnya. Aku menikmatinya kendati hampir pingsan karena saking ramainya orang berdesakkan. Walaupun kemarin Naufal dan Bara belum bertanding karena masih anak baru, tapi karena ajakan mereka lah aku menonton pertandingan itu.

Tahun ini, aku semakin excited menonton pertandingannya karena Naufal dan Bara akan ikut bermain.

"Yah, nggak ada kalian nggak seru dong ngumpulnya," ungkapku kecewa saat Naufal dan Bara bilang tidak bisa sering-sering nongkrong bareng kami lagi.

"Ya elah, kan nggak setiap hari juga kita latihan. Dan nggak sampai malem banget juga kali," tukas Naufal.

"Tapi kan pasti capek banget. Kalian pasti langsung istirahat begitu sampai kosan."

"Ya udah, ngumpulnya di kosan gue aja," sahut Bara santai.

"Males, ah. Kosan lo mah berantakan," ledekku. Aku mengambil chiki di atas meja. Sementara menunggu kelas pukul satu siang nanti, kami memutuskan berkumpul dulu di kantin.

"Ya nggak pa-pa, kan bisa diberesin."

"Enak di lo itu mah," sergahku malas.

Bara hanya terkekeh.

"Gue mau ikut UKM itu, dong." Tiba-tiba Rilo menyeletuk.

Aku mengerjap. Naufal dan Bara melotot mendengar ucapan Rilo. Sementara Angel berseru antusias.

"Bagus tuh!" seru Angel. "Rilo kan jago basket sejak SMA!"

Aku mengernyit. Nih anak satu tahu dari mana kalau Rilo jago basket pas SMA?

Rilo memang jago basket. Bahkan dia pentolannya. SMA-nya pernah menang basket di kejuaraan DBL tingkat kota. Dia pernah ditawari untuk ikut kejuaraan tingkat nasional, tapi dia menolak. Katanya, walaupun basket adalah salah satu hobinya, tapi dirinya tidak seberminat itu pada olahraga bola oranye itu.

"Serius?" Naufal bertanya padaku.

Aku hanya mengangguk. Melirik pada Rilo yang tengah memakan chiki di atas meja. Aku diam saja karena tahu Rilo tidak suka jika dirinya diceritakan dengan berlebihan.

"Gue pernah jadi ketua basket." Rilo berkata. "SMA gue juga pernah menang DBL tingkat kota."

Aku mengernyit. Memamerkan diri sendiri bukanlah sifat Rilo. Kenapa Rilo berkata seperti itu?

Rilo melirikku, lalu mengangkat sebelah alisnya. Aku mengalihkan pandangan kepada chiki di atas meja, bertanya-tanya.

Jadilah, hari ini Rilo mulai latihan.

Aku bimbang. Tadi pagi, aku disuruh menunggu Rilo latihan. Tapi aku malas. Aku harus ngapain sementara dirinya latihan bisa sampai matahari terbenam?

Aku ingin memberitahukan bahwa aku ingin pulang sendiri, tapi ponselnya tidak aktif. Jadi kuputuskan untuk memghampirinya di lapangan kampus.

Di pinggir lapangan yang dipagari jejaring besi itu padat oleh mahasiswi yang sedang menonton latihan sambil berteriak menyemangati. Biasanya tidak seramai ini. Tapi semua pasti tahu siapa yang membuat lapangan ini ramai.

Rilo sedang pemanasan sebelum mulai latihan. Dirinya dan beberapa anggota lain sedang jogging mengelilingi lapangan. Aku mencari tempat lapang untuk mengamatinya dari balik pagar. Rasanya malas untuk menghampirinya di dalam lapangan.

Aku hanya melihatnya intens dari jauh. Biasanya Rilo akan dengan cepat merasakan kehadiranku dari jauh. Kalau berteriak rasanya percuma, karena semua mahasiswi di sini berteriak.

Kurang dari semenit, kepala Rilo sudah menoleh ke arah tempatku berdiri. Matanya mencari-cari, tapi tak butuh waktu lama untuk dirinya berlari menghampiriku. Suara-suara teriakan memudar seiring kakinya melangkah mendekati aku. Perempuan-perempuan itu menatap aku dan Rilo terang-terangan. Suara mereka berbisik-bisik sekarang.

"Masuk aja sini," katanya begitu sampai di depanku.

Aku menggeleng. "Gue mau langsung pulang. Udah nggak ada kelas. Latihan lo masih lama, kan?"

"Bentar, gue anterin. Gue izin dulu."

"Nggak usah!" sergahku langsung. "Gue cuma mau bilang mau pulang duluan, kok."

"Iya, gue tahu. Ya udah kalo nggak mau dianterin, pake mobil gue, ya?"

Aku menggeleng. "Gue pesen ojol aja."

"Pake mobil gue aja."

"Nggak mau, ah. Lagi males nyetir."

Rilo berdecak keras-keras. "Lo tuh--!"

Aku mengangkat alis menatapnya.

Rilo berdecak lagi. "Ya udah, pesen sekarang. Di depan gue."

Aku nyengir. Langsung kuambil ponsel, membuka layanan ojek online langganan.

"Kok lo tiba-tiba mau masuk basket sih, Ril?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari aplikasi. Menunggu ada yang menerima pesananku.

"Abisnya lo excited banget denger Naufal sama Bara mau lomba."

"Loh, ya iyalah. Mereka temen-temen gue, loh?" Aku mendongak, menatapnya heran.

Rilo menatapku intens. "Lo nggak pernah gitu tuh ke gue?"

Hah? Aku mengerjap.[]

my story of being rilo's best friendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang