Selesai kampus, aku mau langsung pulang ke apartemen. Rasanya lelah banget, entah kenapa. Ajakan Bara untuk nonton bareng kutolak begitu saja karena memang lagi capek.
Sampai di gerbang, langkahku dihentikan oleh sebuah mobil sedan hitam mengilat merek terkenal dengan pelat khusus. Tanpa dibuka kaca jendelanya, aku tahu siapa orang di baliknya. Tanpa basa-basi, aku langsung naik.
Penginnya menghindari orang hari ini. Lagi malas banget bersosialisasi beramah-tamah. Tapi Rilo tidak bisa diabaikan. Pernah waktu itu aku mengabaikan mobilnya yang menghalangi jalanku, dia malah keluar dari mobil dan tahulah selanjutnya, fans-nya langsung mengenalinya dan mengejar-ngejarnya. Yang kena marah manajernya siapa? Aku lah.
Dunia memang tidak adil.
"Langsung pulang," ujarku langsung. Kuturunkan jok mobil sampai mentok, lalu langsung mengambil sweatshirt-nya di jok belakang. Aku butuh tidur.
"Yah, padahal gue mau ajak lo ke tempat syuting gue yang baru," keluhnya.
"Nggak usah aneh-aneh, deh. Atau turunin gue aja di sini," balasku ketus. Kuturunkan hoodie sampai menutupi separuh wajah, lalu bersedekap.
"Tanggal berapa ini?" tanyanya. Doh! Dia nggak bisa diam aja apa ya?
Aku diam. Malas banget rasanya menggubris pertanyaan kosongnya.
"Ah, tanggal 20," gumamnya. Lalu yang aku dengar terakhir kali adalah suara lagu dari radio, dan deru mobil yang mengantarku pulang.
[]
Aku bangun dengan kegelapan di sekelilingku. Hanya cahaya remang-remang dari bulan yang bersinar di luar yang menerangkan kamar malam ini.
Beban berat di perutku membuatku menunduk, menemukan sebuah lengan melingkar di sana. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik tangan kurang ajar itu.
"Udah tidur aja. Baru jam tujuh."
"Gue laper," balasku. "Lo nggak laper?"
"Tadi gue udah makan," jawabnya. "Ada piza di kulkas. Angetin aja."
"Hmm," aku hanya bergumam, lalu kembali berbaring dan mendekatkan diri padanya. Rasanya melanjutkan tidur lebih menggoda daripada makan piza beku.
Kulingkarkan tanganku di pinggangnya, kuselipkan kakiku di sela kakinya. Ndusel-ndusel menjadi kegiatan wajib setelah memeluknya begitu erat. Rasanya menyenangkan. Hangat, nyaman, tentram. Perasaan yang selalu aku dapatkan kalau berada di dekatnya.
"Geli," gumamnya tanpa membuka mata.
"Hmm," aku hanya bergumam. Aku selalu suka berada di pelukannya. Apalagi saat dia membalas pelukanku lebih erat. Rasanya seperti terlindungi. Berada di pelukannya, memakai sweatshirt-nya, ndusel-ndusel di dada dan lehernya. Perpaduan yang membuatku selalu memaafkannya walaupun dia bertingkah kurang ajar level kuadrat.
"Katanya mau makan?"
"Nanti." Aku menelusupkan wajah di lehernya. Hangat.
"Lo mau dapet." Itu bukan pertanyaan.
"Hm, nggak tahu."
"Tanggal 20 kan?" tanyanya.
"Oh ya? Gue nggak merhatiin, tuh."
"Iya," jawabnya. "Lo selalu sensitif, manja, laperan, dan diem aja kalo tanggal segitu."
"Oh ya?" tanyaku tak percaya. "Masa sih?"
"Nih, buktinya."
"Apaan, kalo kita tidur kan gue selalu gini."
"Lo selalu tidur begini setiap tanggal 20."
"Ah, masa iya?"
"Iya." Dia menekan dagunya di puncak kepalaku. "Tapi gue suka, kok. Kenapa nggak sering-sering aja kayak gini."
"Ogah," gumamku malas. "Kok lo nggak syuting?"
"Minta diundur. Lagian ini syuting terakhir gue. Abis ini gue nggak mau nerima lagi, mungkin sampai selamanya."
"Loh, beneran?"
"Papa udah bawel aja minta pensiun. Neror gue mulu suruh belajar yang bener biar cepet lulus. Nggak tahu aja otak anaknya encer bagai air bah."
"Terserah lo deh," gumamku tak peduli. "Kok gue ngantuk banget ya."
"Padahal lo udah tidur dari sore. Padahal lo emang pelor--nempel molor."
"Hmm, nanti pas di kampus jangan deket-deket gue, ya."
"Lo udah ngingetin itu dari zaman batu," gumamnya malas. "Ini kan syuting terakhir gue. Nggak pa-pa dong lo ngakuin gue jadi temen?"
"No." Aku menguap. "Still no."
Rilo menghela napas. Tangannya mengusap kepalaku dengan lembut. "Ya udah, tidur."
Dengan usapan lembutnya, aku jatuh tertidur di pelukan Rilo.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
my story of being rilo's best friend
Historia CortaLira pengin banget ngerasain rasanya punya pacar. Tapi entah kenapa setiap sudah dekat dengan cowok, Lira selalu stuck di tahap PDKT. Bahkan tak jarang setelah PDKT, si cowok menjauh seakan tak mengenal nama Lira. [] Rilo sama sekali nggak rela kal...