11 :: my inconveniences

314 41 0
                                    

Rilo menghampiriku di lobi dengan cengiran lebar, tak peduli rintik hujan membasahi tubuhnya. Aku mencebik kesal. Aku disuruh menunggu sementara dia ada janji dengan dosennya. Siapa sangka pertemuan itu bisa memakan waktu hingga satu jam lebih?

"Maaf, deh." Cengiran Rilo tidak kunjung hilang, dan itu sangat menyebalkan. "Ayo pulang."

"Gue mau makan."

"Yuk."

Rilo membuka jaketnya, lalu ditadahkan di atas kepalaku. Baru saja ingin menerobos hujan yang makin melebat, saat seorang gadis dengan kaki jenjang berjalan ke arah kami.

"Hai, Rilo," sapa gadis itu. "Kita satu kelompok."

"Oh, hai." Rilo tersenyum tipis. Aku meliriknya dan gadis itu bergantian dengan penasaran.

Tentu saja aku tahu siapa gadis itu. Dia Jennifer, termasuk dalam jajaran primadona kampus karena wajah ayunya dan kaki jenjangnya. Sikapnya pun lemah lembut seperti keturunan keraton. Senyumnya manis, ditambah dengan tatapan teduhnya yang menenangkan. Teman-teman cowokku selalu membicarakan cup 34C-nya.

"Jadi?" Jennifer melirikku sambil tersenyum ramah. Aku membalas senyumnya walau ada perasaan ingin cepat pulang merayap.

Rasanya ada yang mengganjal. Tapi, apa?

"Jadi apa?" tanya Rilo tak mengerti.

"Kayaknya cuma kita yang bisa diandelin di sini. Kamu tahu kan, yang lain, kayak Randi, Gilang, ..."

Jennifer tak melanjutkan ucapannya. Dia hanya mengedikkan bahu, seperti gestur, lo tahu sendiri, lah.

Aku mengernyit. Setahuku barusan Naufal cerita kalau dia sekelompok dengan Jennifer. Dan setahuku Naufal bukan orang yang menggampangkan tugas begitu saja, apalagi sampai cuma numpang nama di tugas kelompoknya.

"Nggak, kok." Rilo menjawab santai. Tangannya dirangkulkan di bahuku. "Orang yang bisa masuk sini pasti pada kompeten dan bisa diandelin. Jangan merasa paling superior."

Senyum Jennifer luntur 50 persen. Wajahnya agak memerah, mungkin malu. Rilo memang mulutnya tidak bisa direm. Kadang juga aku hanya bisa diam jika Rilo sudah bicara jahat.

"Iya, gue tahu." Jennifer tersenyum canggung. "Nanti gue hubungin lagi tentang tugasnya."

"Bikin grup aja biar nggak repot." Rilo menjawab singkat. Ditadahkannya lagi jaketnya. "Duluan, ya."

Jennifer mengangguk. Aku tersenyum kepadanya, dan Jennifer membalas senyumanku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.

[]

"Gue mau pergi." Aku berbicara pada Rilo yang sedang bermain PES di laptopnya.

"Ke mana?"

"Nggak tahu. Palingan nonton. Atau bisa juga cuma ngumpul di kosan Dimas. Soalnya tuh anak paling mager kalau diajak main."

"Gue boleh ikut, nggak?"

"Bentar gue tanya dulu."

Guys rilo mau ikut boleh nggak?

Angel
Serius? Kok tiba2 sih? Lo sama dia 24/7?

Naufal
Gue mau otw
Jangan ajak dia lah
Gue nggak comfortable

Bara
Iya weh jadi nggak enak gt mau ngapa2in ya nggak sih

Angel
Kalian jahat banget sih

Putri
Terserah
Ajak aja sih
Emang dia nggak sibuk?

Nggak
Dia lagi senggang

Naufal
Katanya dia sibuk banget

Bara
Tau
Kayak yang pengangguran aja ikut2 mulu
Kayak yang nggak punya temen aja

Guys dia lagi di samping gue bacain chat kalian

Naufal
Anjink kau

Bara has left the group

Aku tertawa terbahak-bahak. Tentu saja tidak. Rilo masih anteng duduk di sofa, sedangkan aku sedang duduk di meja bar dekat dapur.

"Sori, Ril. Kayaknya nggak bisa. Temen-temen gue masih nggak nyaman sama lo," jelasku sambil menyampirkan tas di bahu, bersiap pergi.

"Ya udah gue anterin aja."

Aku hanya mengangguk. Sebenarnya Rilo punya banyak teman. Tapi entah mengapa dia tidak banyak nongkrong di luar.

"Lo nggak ke mana-mana emangnya?" tanyaku saat mobil mulai berjalan.

"Nggak. Tapi kayaknya gue mau ke tempatnya Gerald, lagi pada main."

Aku mengangguk-angguk.

"Nanti pulangnya pergi, yuk."

"Kalau gue nggak sampai malem."

"Nggak pa-pa. Kafenya buka 24 jam, kok. Andrew buka kafe baru lagi di daerah Sudirman. Yah, gue mau lihat-lihat aja sih."

Aku mengangguk. "Ya udah."

Yang sebenarnya, aku tahu dia hanya mencari alasan untuk bisa pulang denganku. Karena biasanya aku lebih memilih pesan ojol atau diantar Bara yang kosannya dekat dengan apartemenku. Entah apa yang menjadi alasan Rilo selalu ingin pulang bersamaku. Padahal siapa yang tahu tempatnya nongkrong jauh dengan tempatku main, kan?

Tapi Rilo tetap Rilo yang hanya menggodaku kalau aku menanyakannya langsung.[]

my story of being rilo's best friendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang