Kesepuluh

8.9K 1.4K 101
                                    


Esok adalah hari kedatangan kaisar Qin. Namun bukannya segera merebahkan diri menjemput mimpi pria penguasa Joseon itu malah terdiam paviliun musik dengan mata lurus menatap pohon kembar besar yang terletak perisis ditengah hutan. 

Ditemani taburan bintang dan cahaya lembut rembulan yang tak penuh Jeno termenung, pikirannya berkelana mengulik kerjadian beberapa bulan kebelakang.

Hidupnya mulai terasa aneh sejak hari itu. 

Hari dimana ia ditemukan tak sadarkan diri dengan luka sayat lumayan dalam pada lengan kiri di sekitar pohon kembar itu, terbangun karena mencium aroma pahit yang berasal dari tumbukan tumbuh-tumbuhan obat yang digunakan untuk merawat lukanya. Disusul ucapan penuh syukur dari para abdi setianya.

Agak janggal tapi –ketika itu- Jeno merasa memang seperti itu seharusnya. Hidupnya pun terasa sama walau agak asing. Ia tetap seorang penguasa layaknya apa yang tumbuh dalam diri. Ia tetap dikenal sebagai orang berdarah dingin layaknya jati diri yang –seingatnya- ia miliki. Apa yang menjadi titahnya selalu terpenuhi, jika salah maka ia tak sungkah tuk mengakhiri.

Begitulah siklus hidup yang ia yakini ada dalam diri, hingga ia bertemu sosok anggun mengenakan hanbok biru menatapnya khawatir. 

Lagi-lagi, kala itu, ia merasa familiar bahkan ada secercah rasa benci di dada. Akan tetapi saat mendengar untaian kalimat penuh luka atas apa yang dialaminya, Jeno seketika jatuh hati sedalam-dalamnya.

Renjun, Ratunya... begitulah dirinya menyebut sosok itu.

Jantungnya berkerja dua kali lebih cepat hanya karena bersitatap dengan sepasang manik sebening embun pagi yang memancarkan ketulusan hati. Menciptakan desir aneh disekujur tubuh hingga meniadakan seluruh arogansi dan ketamakan diri.

Ingatan yang sempat hilang pun kembali perlahan, mengisi kekosongan memori dengan gambaran epik nan menyenangkan yang keseluruhannya tentang seorang Renjun.

Hanya untuk Renjun seorang, yang dapat meleburkan tembok sekokoh gunung es milik Lee Jeno yang terkenal kejam pada para pengusik dan penghianat negeri.


"Jeonha" panggil kasim Shin seperti teguran ditelinga Jeno yang langsung menghela nafas. "apa mimpi itu masih menggangu mu, Jeonha?"

"seperti yang kau ketahui, kasim Shin" jawab Jeno menerawang.

Mimpi itu... mimpi yang berisi sosok seorang wanita tua yang selalu mengucapkan kalimat yang sama disetiap tidurnya. Hingga detik ini Jeno belum paham apa maksud dari ucapannya.

"tapi kasim Shin, dua hari ini wanita tua itu menyuruhku melakukan sesuatu yang diluar akal sehat" papar Jeno mengingat dua malam ini si wanita tua tak hanya mengucapkan kalimat yang –seperti- mengusirnya secara halus, namun ada tambahan berupa perintah setelah ucapannya.

"kalau boleh saya tau, apa yang dia ucapkan, Jeonha?"

"dia menyuruhku meniduri Ratu di malam bulan purnama sebelum kelahiran bayi kami" papar Jeno sukses membuat kasim Shin dan dua pengawal yang berjaga mengatup mulut mereka canggung. "aku tak segila itu melakukannya walau aku sedang ingin"

"Jeon-"

"gara-gara wanita tua itu aku jadi semakin sulit memejamkan mata. Dia fikir aku tidak rindu pada Ratuku? Ck, menyebalkan sekali. Aish! Jadi terbayang terus kan!" tanpa sadar Jeno mengomel dengan topik yang agak sensitif di dengar orang lain. Kasim Shin dan para pengawal sampai kikuk mendengar keinginan tersirat sang Raja.

"Jeonha, jika Anda berkenan. Saya mengusulkan agar Anda menanyakan perihal mimpi tersebut pada kepala cenanyang kerajaan. Mungkin, ada maksud lain didalamnya" usul kasim Shin yang berhasil keluar dari kecanggungan.

Jeno terdiam, ia pun sudah berkali-kali berniat untuk memanggil cenayang kerajaan agar menemuinya namun selalu urung dilakukan. Ia tak ingin Ibu Suri mengendus pergerakaknya dan menggunakan kesempatan itu untuk menyebar rumor yang tak benar. Karena seperti yang diketahui, Ibu Suri tengah gencar mengambil langkah untuk menjatuhkannya dari singgasana tahta.

.

Ibu Suri,

Wanita paruh baya yang merupakan ibu tiri sang Raja itu tengah bertandang ke sebuah bangunan di sebelah selatan istana guna bertemu dengan seorang wanita yang berstatus pemimpin dari penghuni bangunan.

Bangunan itu; paviliun Bintang adalah tempat tinggal bagi para shaman kerajaan.

Semua orang percaya bahwa Shaman merupakan utusan dari langit. Apa yang menjadi suratan takdir pun di turunkan melalui mereka para Shaman yang diberkati penglihatan suci.

Namun berbeda dengan sang pemimpin para Shaman. Tak hanya penglihatan suci, ramalan mengenai penerus negeri pun telah ia ketahui sejak dini.

"Ratu sialan itu... benar-benar membuagku geram" kata Ibu Suri mulai mengutarakan keluhannya. "dua kali dia lolos dari jerat maut, baik yang kau kirim pun yang ku lakukan" tambah paruh baya itu sengit.

Banyak sekali upaya untuk menyingkirkan sang Ratu, mulia dari meracuni hingga dibantu sihir hitam. Namun nihil, seakan ada tameng tak kasat mata Ratu selalu lolos dari kepungan maut.

"saya pernah memperingatkan Anda, Mama. Bahwa kehendak langit tak akan pernah bisa diubah" ucap kepala Shaman tenang, menghadapi Ibu Suri memang harus penuh dengan kesabaran meski hati enggan.

"aku tak perduli pada kehendak langit yang tak pernah memihak kepadaku. Yang harus ku lakukan hanya berusaha menyingkirkannya sesegera mungkin agar lebih muda menggulingkan Raja"

Karena Raja tak memiliki kelemahan. Meski dingin, Raja adalah orang yang bijaksana dimata rakyatnya. Berlaku begitu dermawan pada rakyat hingga para pejabat licik kelimpungan. Mengutamakan rakyat diatas kepentingan negara. Karena bagi sang Raja, tak akan ada kedudukan tanpa rakyat yang setia.

Satu-satunya kelemahan sang Naga adalah pendampingnya. Ibu Suri menjamin jika Raja akan lumpuh seketika tanpa phonix nya. Maka dari itu ia begitu gencar menyerang sang Ibu negara, sebab dengan begitu Raja akan takluk padanya. Pergi dari singgasana dengan suka rela.


Kepala Shaman kerajaan mentap Ibu Suri penuh arti. Dibalik ketenangannya ia membatin, jika apa yang disampaikan langit kepadanya beberapa hari yang lalu sampai didengar Ibu Suri. Maka calon penerus yang arif tak akan pernah terlahir.

Dan itu akan merusak keseimbangan takdir. Meski sejatinya, takdir milik bayi kecil yang belum lahir itu bukanlah di sini. Tapi dia harus tetap lahir.

"kau harus membantuku, saat itu tiba aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milik putera ku"

"ye, Mama" Shaman menunduk menyanggupi.

Pada saat itu, semua akan kembali ke posisinya. 


Yang datang akan pergi, yang pergi akan pulang kembali.

.

.

.

TBC

Akhirnya... update..


Magical Gate (Noren)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang