Di hari pertamanya, Sea harus dipertemukan dengan sosok Aidan, laki-laki dingin yang katanya tak tersentuh.
Tak hanya itu, ia lagi-lagi dikejutkan dengan Aidan yang tiba-tiba menembaknya di hari pertama mereka bertemu!
Hingga suatu hari, sebuah ra...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"AAAAAAA!"
CIIITTTT!
Aidan mengelus dadanya, dengan nafas yang terengah-engah. Sea yang ada di sebelahnya juga tak kalah shock.
"Hati-hati, dong, Yang," kata Aidan untuk yang kesekian kalinya.
"Sorry. Salah nginjek," cicit Sea.
"Udah, masih mau lanjut belajar atau udahan?"
"Udahan ah," kata Sea. "Capek hampir nabrak mulu."
Aidan mengangguk. Ia membuka pintu mobil, lalu turun, hendak mengambil alih kemudi. Sea juga melakukan hal yang sama, dan duduk di kursi penumpang di sebelah Aidan.
"Lagi?" tanya Aidan, lalu terkekeh. "Kemarin kan udah makan. Masih pingin?"
Sea mengiyakan. "Belum puas."
Aidan segera melajukan mobil putih milik Sea menuju taman tempat Mang Udin biasa berjualan.
"Eh eh, lengket banget kayak perangko nih anak dua," ledek Mang Udin saat melihat Aidan dan Sea berjalan ke arahnya sambil bergandengan.
Aidan mencibir. "Kayak nggak pernah muda aja, Mang. Kayak biasa, ya."
Mang Udin mengangguk paham. "Siap, Bos," katanya, sambil langsung mengambil 2 mangkuk kosong dan menyiapkan pesanan Aidan.
Aidan dan Sea mengambil posisi di kursi taman yang paling dekat dengan gerobak Mang Udin. Pagi itu, seperti biasa, cuaca masih sejuk. Ada beberapa orang yang sedang berolahraga ringan, dan anak-anak yang sedang bermain di taman.
"Nih, pesenannya. Enjoy."
"Widih, siapa yang ngajarin, Mang?" tanya Aidan, sambil menerima 2 mangkuk yang disodorkan Mang Udin.
"Itu, Si Gembul. Kemarin-kemarin kesini dia, galau katanya."
Aidan terkekeh. Ia sangat paham apa penyebabnya. "Makasih, Mang," kata Aidan. Mang Udin mengangguk, dan segera kembali ke gerobaknya untuk melayani pembeli yang lain.
Tanpa basa-basi, Sea langsung melahap bubur pesanan mereka. Aidan memperhatikan Sea yang makan seperti anak kecil, terkekeh. "Laper banget, ya?"
Sea mengangguk pelan. "Gara-gara jantungan mulu pas nyetir."
"Kamu, sih. Nyetir itu pelan-pelan, dirasain gas sama remnya. Asal nginjek aja," omel Aidan, yang hanya dibalas cengiran tak bersalah oleh Sea.
Untuk sesaat, mereka sibuk dengan makanan masing-masing. Sebenarnya, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Aidan beberapa minggu belakangan ini.
"Kamu beneran mau kuliah di Singapura?" tanya Aidan akhirnya. Sea menoleh, mengangguk pelan. "Sayang banget kalau beasiswanya nggak diambil. Apply nya susah, tau."
"Nanti pisah, dong?" tanya Aidan, sambil mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil. Sea terkekeh. "Nggak terlalu jauh, kan. Nanti kalau libur, aku pulang."
Sea memang mendapatkan beasiswa di sebuah universitas seni di Singapura. Setelah beberapa bulan sibuk mempersiapkan berbagai keperluan untuk mendapatkanbeasiswa, akhirnya permohonan beasiswanya diterima. Sea memang dari dulu bercita-cita untuk kuliah di negara tetangga itu. Tapi sebelum berangkat, Sea ingin bisa menyetir mobil dulu. Walaupun ia tidak akan menggunakan kendaraan pribadi di sana, tapi Ia ingin sekali bisa mengemudi sendiri saat pulang nanti.
"Janji jangan lirik cowok lain," kata Aidan. "Jangan temenan sama cowok yang aneh-aneh. Kalau macem-macem, lapor ke aku. Jangan mau diajak ke klub atau apapun. Jangan pulang terlalu malem, bahaya. Jangan jalan sendirian, nanti diculik. Penculik suka anak cantik."
Sea terkekeh mendengar ocehan Aidan. Ia sudah mendengar itu 3 kali. "Siap, bos!"
***
Hari keberangkatan Sea telah tiba. Aidan mengantarkan gadisnya itu ke bandara, bersama dengan keluarga Sea. Adara dan Iagan juga memaksa ingin ikut, tak lupa Nadya yang juga tak rela sahabatnya itu pergi.
"Baik-baik di sana ya, Se. Setiap malam hubungi Mama dan Papa," kata Radit. Sea mengangguk, memeluk orang tuanya. Air mata sudah membasahi pelupuk matanya.
"SEAAAAAAAAA NTAR KALO GUE LIBUR GUE NYAMPERIN LO, YA. GUE BAKAL KANGEN BANGETTT!"
Nadya memeluk Sea erat, tak mempedulikan pandangan orang-orang yang mendengar teriakan Nadya tadi. Sea terkekeh, membalas pelukan Nadya. "Semoga pas aku pulang, suara kamu udah mengecil ya, Nad."
Kalau begini, berat bagi Sea untuk meninggalkan orang-orang yang menyayanginya. Tapi, Ia ingin mengejar mimpinya, dan menjadi seorang sutradara handal.
"Hati-hati di sana, Dek. Belajar yang bener," ujar Sebasta.
"Kak, Adara bakal kangen," ujar Adara. "Cepetan balik, ya."
"Hati-hati, Se. Sukses di sana," kata Iagan.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah. Wajah Aidan terlihat 2x lebih murung.
"Janji ya, jaga diri di sana. Jangan temenan sama yang nggak meyakinkan-"
"Iya, Sayang," jawab Sea, sambil terkekeh. "Jangan khawatir. Ntar aku kabarin setiap hari."
Aidan mengangguk, melepas rangkulannya di pundak Sea. Sea berjalan masuk ke dalam bandara setelah menunjukkan tiket pada petugas. Tak lupa, Ia melambaikan tangan pada mereka.
Setelah Sea menghilang dari pandangan, mereka akhirnya berpamitan dan berpisah satu sama lain. Aidan berpisah dengan Iagan dan Adara, karena Ia harus mengurus beberapa hal di kampus.
Saat Aidan sampai di dalam mobil, Ia mengeluarkan sebuah kotak bludru berwarna biru tua, dan membukanya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk kerang bertengger manis di sebuah bantalan bludru dengan warna yang senada dengan kotaknya.
"In a few years, Sea. Wait for me."
-TAMAT-
Hola! Akhirnya selesai juga, hehe. Maaf banget cuma bisa update seminggu sekali. Udah mulai masuk kuliah, dan jadwalnya padet banget. Anyway, makasih buat yang udah mau baca cerita ini sampai akhir! Semoga suka ya 🤍 See you di cerita-cerita berikutnya! -ST-