Awal Perjalanan

58 5 2
                                    

Di barat Gaza,
Matahari terbenam.
Menyinari hamparan padang rumput.
Kala itu,
Tampak berkilau tertimpa cahaya.
Disana kau akan mendapat ilmu.

Kak Raihan baru saja menerjemahkan isi kertas kuno yang kami temukan. Aku mengernyitkan dahiku. Masih belum sepenuhnya mengerti maksud dari sebait kalimat itu.

Kami saling tatap satu sama lain. Diam, masih memikirkan arti kalimat-kalimat misteri itu. Beberapa mulut terbuka, hendak mengeluarkan pendapat, namun kembali tertutup rapat.

Semenit.

Dua menit.

Tiga-

"Sudah cukup! Aku masih belum mengerti," Alfath mengangkat tangan tanda menyerah.

"Mungkin disana ada sekolah. Di kertas itu tertulis bahwa kita akan mendapat ilmu,kan?" cetusku.

Semua menoleh padaku, lalu tertawa.

"Apa? Apa yang lucu?" Aku merengut kesal.

Rasahana membenarkan posisi duduknya. "Bukan,bukan begitu,Kalila. Kami hanya terkejut, mengapa 'sekolah' tak terpikirkan dari tadi."

"Tapi, kalau tempat tersebut hanya sekolah, kenapa terkesan berlebihan seperti ini? Tertulis di surat kuno dan tua, memakai banyak kata kiasan," tanya Hulwa.

"Mungkin itu adalah sekolah rahasia atau khusus. Mengingat pihak israel juga mengincar sekolah sebagai target mereka," ujar Kak Raihan.

"Benar juga!"

Aku berdiri dan mengantongi kertas itu. "Apa kita akan kesana?"

"Kalian mau?" Kak Raihan mengulas senyum simpulnya.

"Mau!" jawab kami serempak.

"Bismillah, Allahu akbar!"

"Allahu akbar!"

Kami berdiri bersisian di tengah puing-puing bangunan. Takbir menggema, menyatukan asa. Disini, hari ini, perjalanan kami akan dimulai.

-•-•-

"Ammah, kami pamit dulu,ya,"

Ammah Aisyah mengelus jilbabku dan Rasahana. Ammah Aisyah, atau Bibi Aisyah, adalah ibu dari Rasahana. Beliau yang mengasuhku sejak ummi meninggal. Aku sudah mengangggapnya seperti ummiku sendiri.

"Fii Amanillah, anak-anak. Berhati-hatilah selama perjalanan, selalu ingat Allah. Maafkan Ummi tak bisa memberi bekal perjalanan untuk kalian," mata Ammah Aisyah tampak tergenang oleh air mata yang ditahan.

"Tak apa, Ummi. Insyaa Allah, kami akan menemukan makanan selama perjalanan. Assalamu'alaikum,Ummi."

Aku mencium tangan Ammah Aisyah. "Assalamu'alaikum,Ammah Aisyah. Maaf Kalila sering merepotkan."

"Wa'alaikumussalam, Ummi tak pernah merasa direpotkan. Lagipula, sudah berapa kali Ummi bilang, berhenti panggil dengan kata 'Ammah'. Kalila itu kan anak ketiga Ummi," ujar Ammah Aisyah.

Tanpa sadar, aku membentuk sebuah lengkungan senyum mendengarnya.

Aku dan Rasahana pun pergi menyusul kak Raihan, Hulwa, dan Alfath. Aku membawa sebuah tas kecil, berisi ketapel. Perjalanan ini dimulai tanpa sarapan. Sebenarnya, hal ini biasa saja bagi kami, karena kami sudah terbiasa.

"Teman-teman, aku membawa tiga roti tawar. Kerabatku memberikannya padaku. Mungkin bisa untuk mengisi perut kita pagi ini," Ujar Hulwa memecah keheningan.

"Alhamdulillah," kami semua mengucapkan syukur pada Allah.

Tiga roti itu sangat berharga bagi kami. Diluar sana banyak sekali yang tidak mendapat makanan barang sedikit pun, dan kami mendapat tiga roti tawar. Kami membaginya. 1 roti untuk Kak Raihan dan Alfath, 2 roti untukku, Rasahana, dan Hulwa.

Maka, nikmat tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?

Perjalanan hari ini, mungkin akan menjadi perjalanan bersejarah dalam hidupku. Yah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya,bukan?

Matahari mulai muncul di ufuk timur. Pagi ini langit cerah. Beberapa awan putih menghiasi langit. Seakan semesta ikut bersemangat bersama kami.

Netra coklatku memandang teman-teman. Rasahana, Kak Raihan, Hulwa, dan Alfath. Mereka teman yang hebat. Merekalah teman senasib sepenanggungan dan seperjuanganku.

Meski negara kami sedang berperang, meski kami hidup dalam keadaan memprihatinkan bagi bangsa lain, aku bahagia. Aku sudah merasa bahagia. Bahagia bisa bersama orang yang kusayangi, walau orang tuaku sudah tiada. Aku bersyukur, Allah memberiku teman-teman yang baik.

"..la,"

"..lila?"

"Kalila," seseorang menepuk pundakku. Aku yang sedang merenung terlonjak kaget.

"Kalila, kenapa? Dari tadi kamu berjalan sambil melamun. Malah kadang tersenyum sendiri. Apa yang kamu pikirkan?" tanya Rasahana.

Kini semua menatap ke arahku.

"Aku..Bersyukur pada Allah memiliki kalian," senyumku merekah. Tanpa beban, tanpa paksaan.

"Maasyaa Allah, begitu pun aku. Kalian semua teman-teman yang baik," sahut Hulwa.

Hulwa dan Rasahana memelukku erat.

"Semua, maaf mengganggu momen kalian, tapi, aku baru menyadari sesuatu."

Kami beralih pada Alfath. Meminta penjelasannya.

"Kertas kuno itu..kita temukan saat selesai melawan tentara israel,bukan?"

"Iya."

Alfath menunduk, kemudian menengadah kaget. Seakan baru menyadari suatu kesalahan.

"Ini gawat!"

🌼🌼🌼
Reader sekalian~^^
Jangan lupa Vote dan Comment nya yaaa
Love you countless♥

-Nayqiyya

KalilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang