The End

46 5 2
                                    

Aku berusaha membuat mataku terfokus dan melempari para tentara Israel dengan batu, tentu saja menggunakan ketapel. Semoga rencana kami berjalan lancar, Aamiin Allahumma Aamiin.

Benar saja. Para pasukan khusus yang disiapkan pihak sekolah terheran-heran dengan kondisi saat ini. Aku melambai-lambaikan tangan pada mereka, memberitahu kami yang melakukannya. Salah seorang dari mereka berhasil melihatku. Dia mengangguk dan melaporkannya pada yang lain.

Bismillah. Batu-batu kami meluncur laksana peluru, terbang bersama teriakan takbir. Eh? Seperti pernah mendengar kalimat itu.

Aku menerobos maju dan menjangkau barisan terdepan Israel disini. Color smoke nya mulai menghilang. Kami memang memiliki waktu hanya beberapa detik. Kulihat Kak Raihan memberi tanda pada pasukan khusus yang saat itu juga menyerbu dari atas.

Apa pertarunganku sudah berakhir? Tentu tidak! Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Kuucapkan kalimat takbir setiap kali salah satu batuku melesat.

Debu bergumul di sekelilingku akibat aku terus-menerus berlari. Beberapa butir masuk ke dalam mataku. Pandanganku mengabur. Ini tidak bagus. Aku tidak dapat melihat keberadaan musuh dengan jelas.

"Kalila! Awas!" seru Alfath.

Aku berbalik dan menemukan seorang tentara Israel yang ingin menembakku. Saat itu juga Rasahana melompat dan menghentikannya. Aku berlari dan memeluk Rasahana.

"Alhamdulillah, Terima kasih, Rasahana!"

"Sudah kewajibanku, Sama-sama. Alhamdulillah kau baik-baik saja," Rasahana mengelus pucuk jilbabku.

Selang beberapa menit kemudian, dengan Izin Allah kami memperoleh kemenangan. Aku sujud syukur atas segala pertolongan dari Allah.

Dari jauh, seorang gadis berlari-lari untuk menghampiriku dan memelukku dengan erat. Siapa lagi kalau bukan Hulwa.

"Huhu, Alhamdulillah kita berhasil, Kalila!"

"Alhamdulillah," lirihku bersamaan dengan jatuhnya bulir air mata bahagia.

-•-•-

Aku berjalan seraya menyenandungkan nasyid kesukaanku. Tanganku mendekap beberapa surat yang sudah kami nantikan kedatangannya.

"Suratnya datang,ya?" Tiba-tiba Rasahana sudah berjalan beriringan denganku.

Aku mengangguk dan tersenyum cerah, secerah sinar mentari pagi hari ini. Tampaknya cuaca hari ini sejalan dengan moodku. Sesekali ku tengadahkan kepalaku untuk melihat langit yang luas itu. Birunya langit yang selalu dirindukan orang-orang.

"Hmph!" sebuah tawa kecil yang ditahan tertangkap oleh telingaku.

Aku menoleh dan mendapati Rasahana sedang tersenyum lebar. Aku mengerutkan dahiku dan memandangnya dengan tatapan heran sekaligus kagum.

Maasyaa Allah, siapa sangka aku bisa melihat senyumnya lagi. Senyumnya yang ini. Terakhir kali dia melakukannya saat dia menenangkanku dulu. Ini kejadian langka.

"Hm, kenapa?" Sepertinya Rasahana sadar kalau aku melihatnya dengan tatapan heran.

"Aku senang melihatmu tersenyum seperti itu lagi. Ini hal yang langka," aku berterus terang.

"Itu karena aku senang melihatmu senang, Kalila. Apa memang sebaiknya kita tinggal dan bersekolah disini saja,ya?" pertanyaan Rasahana itu sebenarnya lebih ke dirinya sendiri.

"Bagaimana dengan Ummi, Rasahana? Bukankah kau merindukannya?" aku juga heran kenapa ia bisa mengubah keputusan semudah itu.

"Kau melupakannya,ya? Keputusan kita bergantung pada isi surat yang kau bawa itu, Kalila," Rasahana menunjuk-nunjuk surat yang masih ku dekap.

Oh,iya, aku lupa! Gerutuku dalam hati seraya menepuk jidat. Aku harus segera membawanya ke depan yang lain. Alhamdulillah Rasahana mengingatkanku, kalau tidak..

"Ayo, kita bacakan isinya di depan yang lain!" ajakku.

Kami mempercepat langkah dan menemui yang lainnya. Semuanya sedang sarapan bersama di selasar sekolah. Ada juga beberapa yang sedang sibuk membersihkan segala sudut tempat ini. Bahkan, tidak sedikit yang sudah mulai belajar dan berlatih.

Kemenangan kemarin kami dapatkan dengan pertolongan Allah, dan kami bekerja keras untuk meraihnya. Tentu saja itu hari yang melelahkan, namun disini aku belajar, bahwa dalam kamus para pejuang tidak ada kata 'lelah' dalam meraih ridha Ilahi, serta memperjuangkan hak bangsa kami, Palestina tercinta.

Setelah menyaksikan aktivitas para murid dan guru pagi ini, aku duduk dan bergabung bersama Rasahana dan Hulwa. Ini pertama kalinya kami sarapan bersama, melingkar dan saling bercengkerama.

Hulwa dengan antusias menceritakan pengalaman kami kemarin saat menjalankan rencana demi rencana. Sesekali aku ikut tertawa mendengar suara Hulwa yang agak cempreng itu.

"Apa kalian tidak merasa De Javu?" tanya Hulwa tiba-tiba.

Aku menggeleng pelan. Aku tidak merasa De Javu. Berbeda denganku, Rasahana mengangguk dengan tatapan, -ternyata-bukan-hanya-aku-yang-merasakannya-.

"Oh, aku lupa! Saat itu kau sedang bertempur di garis depan, jadi tidak melihat kejadian di tempat kami," ujar Hulwa padaku.

Kejadian apa?

"Saat itu, kami melihat seorang tentara menyuntikkan sesuatu ke tangan tentara lainnya, dan tentara yang disuntikkan itu mengerang keras, lalu terkapar tak berdaya. Kami tak tahu kenapa dia melakukannya, tapi aku merasa De Javu, ternyata Hulwa juga," Jelas Rasahana seolah membaca pertanyaan di dalam pikiranku.

"Aku merasa belum pernah melihatnya," aku berusaha menggeledah memori-memori di dalam kepalaku.

"Mungkin kau memang belum pernah melihatnya," Rasahana mengangkat kedua bahunya.

"Kapan,ya,kita melihat kejadian seperti itu?" tanya Hulwa pada Rasahana.

Anehnya, setelah bertanya seperti itu, Hulwa langsung terdiam. Rasahana juga. Mereka tampak menyembunyikan sesuatu. Atau hanya perasaanku saja,ya? Sudahlah.

Aku beranjak untuk mencuci tangan ketika melihat dua orang yang familiar sedang berbincang bersama pimpinan sekolah ini. Kakiku membawaku berjalan mendekati mereka untuk memastikan mereka siapa.

Tatkala jarak kami tinggal lima meter, salah seorang dari mereka melambaikan tangan padaku. Yang lainnya ikut menoleh padaku, salah seorang yang lain tersenyum ramah padaku. Aku berlari dan memeluk orang yang melambaikan tangan tadi.

"Kak Tia!" seruku.

"Assalamu'alaikum, Kak! Apa kabar?" lanjutku.

"Wa'alaikumussalam, Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana?" Kak Tia mengelus jilbabku pelan.

"Alhamdulillah baik juga,kak," jawabku seraya tersenyum.

"Wah! Ada perlu apa kesini, kak?" tanya Hulwa yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Tidak berbeda dengan Rasahana.

Kak Tia dan Kak Sal saling pandang, lalu tersenyum pada kami.

"Mengungkap kebenaran masa lalu."

🌼🌼🌼
Reader sekalian~^^
Jangan lupa Vote dan Comment nya yaaa
Love you countless♥

-Nayqiyya

*maafkan judulnyaaa, tapi ini belum selesai kok😁


KalilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang