Tentang Rasa Sabar

55 4 2
                                    

"...Itu berarti mereka mengincar tempat itu,kan?" lanjut Alfath.

"Benar juga!" Sahut Hulwa.

"Jadi,kita harus sampai kesana lebih cepat dan memperingatkan orang-orang disana?" tanya Rasahana.

"Benar, tapi kita tak bisa melakukannya jika kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki seperti ini," ujar Kak Raihan seraya memijat keningnya.

Aku tak begitu mendengarkan diskusi mereka. Mataku tengah menatap pada sebuah mobil jeep yang melaju. Ada dua orang tampak sibuk di dalamnya. Yang satu menelepon, yang satu lagi mengendarai. Sebuah bendera berkibar di atas mobil jeep tersebut.

Aku memicingkan mataku. Warna bendera itu..Merah, putih. Tidak salah lagi, Bendera Indonesia! Mereka pasti relawan dari Indonesia. Setelah diperhatikan lagi, mobil itu mendekat ke arah kami.

Rasahana menengok padaku setelah aku menarik lengan bajunya pelan. "Ada apa,Kalila?"

Aku tak sempat menjawab. Mobil jeep itu sudah ada di hadapan kami. Dua orang yang tadi kulihat turun, dan mengulas senyum. Seorang perempuan berjilbab ungu, dan seorang laki-laki bertopi hitam.

"Assalamu'alaikum,Anak-anak. Sedang apa,kalian?" tanya perempuan itu.

"Wa'alaikumussalam. Kami..Sedang melakukan perjalanan," jawabku.

"Maasyaa Allah..Di hari sepanas ini? Oh ya, perkenalkan, nama kakak Tia. Panggil Kak Tia,ya. Nah, yang ini adiknya kakak, panggil saja Kak Sal," Kak Tia menunjuk pada laki-laki di sebelahnya.

Kak Sal balas tersenyum pada kami.

"Maaf,kak, kakak-kakak sekalian ada urusan apa?" tanya Kak Raihan setelah berjabat tangan dengan Kak Sal.

"Oh, kami ingin bertanya, dimana ya letak pengungsian di distrik A? Boleh tunjukkan kami dimana jalannya? Sekalian kami antar kalian ke tempat yang ingin kalian tuju," Kak Sal memberikan kami sebuah alamat.

"Tentu saja boleh,kak," jawab Alfath.

Aku menoleh dengan cepat mendengar jawaban Alfath. Bukannya aku tak mau mengantar mereka, tapi apa kami tak merepotkan jika harus diantar juga?

Rasahana mengedipkan sebelah matanya padaku. "Tapi, apa kami tak merepotkan jika kakak mengantar kami juga?"

Alhamdulillah. Rasahana dan aku memang saling mengerti satu sama lain. Bahkan, mungkin saja yang barusan adalah telepati.

"Tidak, kami akan merasa sangat senang kalau kalian mau diantar oleh kami. Karena kami juga merasa tak enak harus meminta tolong pada kalian," jawab Kak Tia.

Sesaat aku, Rasahana, Hulwa, Alfath, dan Kak Raihan saling memandang. Meminta jawaban dan pendapat masing-masing. Hingga akhirnya kami semua mengangguk setuju.

Kini giliran Hulwa yang berbicara. "Baiklah, terima kasih banyak,kak Tia,kak Sal. Semoga Allah selalu melindungi kakak-kakak sekalian."

"Tidak apa, kami justru berterima kasih karena kalian mau mengantar kami."

-•-•-

Kini langit malam memayungi jeep yang kami tumpangi. Keempat sahabatku sudah tertidur pulas.

Jauh di atas sana, bulan bersinar terang, seakan tengah memberi harapan pada tiap jiwa yang merasa kesulitan.

Tiba-tiba, aku teringat ayat Al-Qur'an yang sering dibacakan Ummi untukku, setiap kali aku merasa sedih. Dengan pasti, aku mulai membacanya, diiringi bayang-bayang memori indah yang kulalui bersama Ummi, hingga tetes air mata dan luka.

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah: 153)

Sayup-sayup, aku mendengar seseorang menangis. Seseorang itu memelukku erat.

"Maaf..maaf.." lirihnya pelan.

Suara itu, suara Kak Tia?

"Kenapa, Kak Tia?"

"Kakak..Tak sengaja mendengar ayat Al-Qur'an yang kamu baca tadi. Tentang sabar,kan?"

Aku mengangguk.

Kak Tia melepaskan pelukannya dan memandangku lekat. "Kakak..Minta maaf..padahal selama ini, kalian begitu menderita, masa kecil kalian penuh dengan luka, tapi kalian tetap bersabar, terus bersabar, lagi dan lagi..Hiks."

Kak Tia mulai terisak. Aku memberikan segelas air putih yang ada di samping ku agar Kak Tia lebih tenang.

"Sementara Kakak di Indonesia, hidup berkecukupan, hidup dengan damai dan tenang, namun seringkali merasa tidak cukup. Merasa Allah tak adil. Selalu melihat ke atas. Padahal..Padahal apa yang Kakak rasakan selama ini belum ada apa-apanya dibanding penderitaan kalian."

Aku ikut merasakan perasaan yang saat ini dialami Kak Tia.

"Kak Tia, Setiap manusia memiliki ujian hidupnya masing-masing. Semua sudah Allah atur, sesuai kadar kesanggupan setiap manusia.." Aku menghela napas.

"..dan apa yang aku rasakan memang belum tentu dapat Kak Tia tanggung. Namun, begitu pula sebaliknya,kak. Apa yang Kak Tia rasakan belum tentu dapat aku tanggung."

"Setiap ujian yang datang memang berat,kak. Tapi jika kita yakin bahwa Allah bersama kita, dan berusaha memperbaikinya, Insyaa Allah, rasa sabar itu akan melekat pada diri kita dan semua akan terasa lebih mudah,"ujarku.

Iris coklatku memandang langit yang berkilauan. "Seperti bulan dan bintang, yang memerlukan gelapnya langit malam agar bisa bersinar terang. Manusia perlu berbagai ujian agar bisa bersinar terang, menaikkan tingkat ketakwaannya."

"Terima kasih, Kalila. Kata-katamu bagus sekali,lho. Maasyaa Allah. Seharusnya kamu jadi penulis," ujar Kak Tia yang kini sudah tersenyum.

Aku terhenyak. Kak Tia..Bukan aku yang hebat. Tapi kak Tia yang sudah menyadarkanku akan banyak hal dalam waktu yang singkat.

"Kak Tia,Kakak juga! Kakak sudah seperti motivator. Kakak baru saja menyadarkanku akan banyak hal," sahutku.

Kami mulai bercengkrama. Menata asa demi asa. Saling menguatkan.

🌼🌼🌼
Reader sekalian~^^
Jangan lupa Vote dan Comment nya yaaa
Love you countless♥

-Nayqiyya

KalilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang