Kenyataan Manis yang Pahit

28 3 0
                                    

"Jadi, selama ini.."

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri, "..Abi adalah.."

"Kak Sal?" jantungku berdegup kencang. Padahal..Padahal Kak Sal terlihat seperti seorang pemuda yang bahkan lebih muda dari Kak Tia.

"Benar, Kalila. Adikku, adalah Ayahmu," Kak Tia memelukku erat.

Aku ingin menangis karena bahagia, tapi aku merasa telah dibohongi. Kalau memang sudah tahu kalau Kak Sal adalah Abi, kenapa tidak memberitahukan padaku dari awal?

Aku mendorong Kak Tia menjauh. Kak Tia tampak terkejut dan menatapku lekat-lekat dengan sorot mata yang bingung.

"Kenapa?"

"..kenapa?" Kak Tia balik bertanya.

"Kenapa Kak Tia baru memberitahukannya padaku sekarang? Apa Kak Tia tidak tahu kalau selama ini aku selalu dibayangi rasa rindu pada Abi, namun tidak bisa mengingat wajahnya? Kak Tia.." aku kehabisan kata-kata. Pada akhirnya yang keluar dari mataku adalah air mata karena kekecewaan, bukan kebahagiaan.

Kakiku membawaku berlari, pergi menjauh dari Kak Tia yang meneriaki namaku. Aku tidak peduli diperhatikan oleh yang lain karena berlarian. Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan teriakan Kak Tia yang semakin lama semakin samar.

Begitu tersadar bahwa aku sudah berlari begitu jauh, aku sudah berada di depan sebuah jendela tua yang besar. Aku menopang daguku seraya duduk di tepiannya.

Suara jendela yang tertiup semilir angin menemani kesedihanku. Kupikir aku akan merasa sangat bahagia, ternyata sebaliknya.

Sosok Ummi tiba-tiba terbayang di kepalaku. Di saat seperti ini, dan sikapku yang tidak bersyukur.. Ummi pasti kecewa. Aku menghela napas panjang. Benar. Aku tak boleh mengecewakan Ummi.

"Kenapa menghela napas?"

Suara berat seseorang yang amat kukenali bertanya padaku.

".. Kak Sal."

"Bukan kenapa-napa," lanjutku.

"Hmm," hanya itu jawaban singkat darinya.

Kak Sal berdiri di sampingku. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Aku memerhatikan wajah Kak Sal- tidak, wajah Abi dengan lekat. Wajahnya awet muda, hingga aku tak mengira ia adalah seorang ayah.

Sosok ayah.. Yang sudah lama menghilang dari hidupku. Yang dengan menghilangnya Abi, kepalaku mengubur dalam-dalam ingatanku bersamanya. Rasa kehilangan telah menenggelamkan diriku kala itu.

"Abi.."

Tanpa sadar, mulutku mengeluarkan kata yang terus berputar di dalam pikiranku itu. Cepat-cepat aku membalikkan badan dan menutup mulutku dengan kedua tangan.

"Apa? Kau mengatakan sesuatu tadi?" tanya Kak Sal- eh, Abi.

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Tanpa berbalik pun, aku tahu kini Abi tengah tertawa kecil melihat sikapku ini.

"Kak Sal.." panggilku. Aku belum siap memanggil Abi dengan kata 'Abi'.

"... Kak Sal, sebelum ini dimana saja? Maksudku, sebelum Kak Sal ke Palestina. Katanya Kakak dari Indonesia, kan?" lanjutku.

Abi mengalihkan pandangannya ke arahku. Tersenyum, dan menjawab, "Iya, Kakak dari Indonesia. Dan kakak hanya di Indonesia sejak dulu, baru kesini."

Suatu sudut di hatiku terasa begitu perih, mengetahui bahwa Abi tidak mengingatku. Abi tidak mengingat memorinya selama disini. Namun, di sisi yang lain, aku berusaha untuk menerimanya, karena aku sendiri pun seperti itu.

".. Benarkah, Kak? Kakak dulu hanya di Indonesia?" tanyaku takut-takut.

"Benar." jawab Abi dengan yakin.

Abi menjawab dengan yakin. Padahal aku masih ingat dengan jelas, belum lama Abi menunjuk-nunjuk diriku dan berkata bahwa aku terus menghantui dirinya. Apakah itu sesuatu yang kambuh sesaat?

"Oh." jawabku singkat.

Aku.. Aku tidak bisa berbicara lagi. Tangisku sudah tercekat di tenggorokan. Kalian pasti tahu rasanya, jika bicara maka tangis ini akan meledak.

Aku hanya terdiam setelah itu. Diam seribu bahasa. Menahan rasa sakit dan rindu yang teramat berat.

Aku melihat langit yang mulai berubah warna. Sudah saatnya kembali. Aku terlalu lama disini.

"Wassalamu'alaikum,"ucapku lirih, kemudian pergi meninggalkan Abi sendiri disana.

-•°•-

"Kau dari mana saja?" Rasahana menghampiriku dengan wajah khawatir.

"Dari luar, bertemu Abi," jawabku singkat.

"Oh, bertemu Abimu.."

"..."

"HAH, BERTEMU ABIMU?!" Rasahana memegang kedua pundakku dengan wajah terkejut.

"..Iya. Selama ini abi ada di dekatku, dan aku baru mengetahuinya." Aku memainkan jariku dan mulai bercerita pada Rasahana.

Tentang apa yang dikatakan Kak Tia padaku, identitas abi saat ini, dan keadaan abi. Rasahana menyimak dan berusaha tampak tenang. Walaupun begitu, aku tahu kalau dia sedang menahan rasa marahnya pada Kak Tia, yang menyembunyikan semua ini padaku sebelumnya.

-•°•-

Matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit menjadi gelap. Burung-burung berterbangan, pulang menuju sarang masing-masing. Malam telah tiba. Setelah melewati hari yang melelahkan, kini saatnya makan malam.

"Aku ingin makan di kamar saja," jawabku ketika Hulwa mengajakku untuk makan malam bersama seperti biasanya.

Aku masih belum siap untuk bertemu lagi dengan Kak Tia dan Abi. Lagipula, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Setelah membujukku beberapa kali, Hulwa menyerah dengan kekeras kepalaanku. Dia beranjak keluar sambil berkata bahwa aku tetap harus makan malam bersama.

"Meski sederhana, tapi akan lebih nikmat jika makan bersama," begitu katanya.

Beberapa saat kemudian, Rasahana masuk ke kamar. Mungkin Hulwa yang menceritakan keadaanku padanya.

Aku memalingkan wajahku ke arah jendela kecil.

"Kenapa kau tak ingin makan bersama?" tanyanya serah duduk di sampingku.

Aku hanya diam tak bergeming. Walau aku tak menjawab pertanyaannya pun, Rasahana pasti tahu apa alasanku.

"Oh, karena yang tadi. Kamu Merasa tidak nyaman bertemu Kak Tia dan Kak-Eh, abimu?" benar kan. Dia tahu.

Aku menganggukkan kepalaku pelan.

"Aku memang tidak begitu paham apa yang kau rasakan, tapi aku mengerti garis besarnya, Kalila."

"Setelah Kak Tia mengungkap siapa Abimu saat ini, dan setelah sikap anehmu pada Abi, pasti rasanya susah untuk bertemu.." Rasahana menghela napas dan menepuk pundakku.

"Namun, apa pun yang terjadi, kamu harus menghadapinya. Tidak ada jalan kembali. Jangan takut, ada Allah. Selalu ada orang yang berada di disisimu, termasuk aku. Mencoba menghindar tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, bagaimana?"

Benar apa yang dikatakan Rasahana. Aku tak bisa selamanya hanya menghindar seperti ini.

Pada akhirnya, aku mengangguk pelan. Mengiyakan ajakan Rasahana dan Hulwa untuk makan malam bersama.

Saat tiba disana, semua sudah berkumpul. Kak Raihan, Hulwa, Alfath, hingga Kak Tia dan Abi. Aku mempersiapkan diri dan masuk dengan senyum seolah tidak ada apa-apa.

Waktu bergulir. Pembicaraan demi pembicaraan mulai menguak masa lalu kami.

🌼🌼🌼

Alhamdulillah up!
Ga terasa,ya,udah tahun 2021.
Semoga di tahun ini,
Kita semua bisa jadi pribadi yg lebih baik, dan mencapai impian. Aamiin Yaa Rabb.

Semangat!!!

Reader sekalian~^^
Jangan lupa Vote dan Comment nya yaaa
Love you countless♥

-Nayqiyya

KalilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang