Tiba

34 5 2
                                    

Entah sudah berapa lama aku terlelap. Begitu terbangun, Aku sudah berada di sofa dalam sebuah ruangan. Mataku perlahan beradaptasi dengan cahaya remang-remang dari lampu disini. Setelah mengumpulkan tenaga, aku beranjak untuk mencari yang lainnya.

"Halo? Teman-teman, kalian dimana?" suaraku yang setengah berteriak jadi bergema disini.

Puk! Seseorang menepuk pundakku. Aku terlonjak kaget dan mengelus jilbabku. Tatapan jahil dari orang tadi membuatku ingin membalasnya. Tapi, lupakan saja.

"Kalian kemana? Dan..apa kita sudah sampai?" tanyaku.

Hulwa mengacungkan jempolnya. "Yap,Alhamdulillah! Maaf baru mendatangimu. Tadi kau tertidur pulas sekali, dan kami tak tega membangunkanmu. Jadi aku dan Rasahana menggendongmu ke atas sofa."

"Ma-makasih sudah menggendongku. Dimana yang lain?" ujarku dengan kedua tangan yang menutupi wajah, menahan malu.

"Sama-sama! Kau tak perlu malu seperti itu, Kalila. Oh,iya, yang lain ada di ruang rapat."

"Jadi..Ini benar-benar sebuah sekolah,Hulwa?"

"Betul. Sekolah agen rahasia dan para pasukan khusus."

Saat memasuki ruang rapat, disana ada
Kak Tia, Kak Sal, Rasahana, Alfath, dan Kak Raihan, serta dua orang pria paruh baya yang belum kukenal.

Sepertinya, aku dan Hulwa masuk ketika mereka sedang membicarakan hal yang penting. Timing yang tidak pas. Semua mata menatap ke arah kami. Secara spontan kami berdua menunjukkan kepala dan menangkupkan tangan.

"Assalamu'alaikum, maaf kami mengganggu."

"Wa'alaikumussalam, Tidak, kok," jawab salah seorang pria paruh baya dengan rompi tentara. Dari awal sudah dapat kutebak, Beliau seorang anggota pasukan khusus.

"Ayo, silakan duduk!" Ujar pria satunya lagi, dengan syal yang melingkari lehernya.

Kami duduk di kursi yang tersedia, dan mulai ikut dalam, entahlah, sebuah diskusi mungkin?

Pria dengan syal berdiri dan tersenyum sumringah seraya berkata, "Nah, kita ulang perkenalannya,ya. Saya Ahmad Thariq, kepala sekolah disini, dan ini teman saya, Hasyim, seorang guru juga anggota Pasukan Khusus."

Rasahana memberi kode lewat kedipan mata untukku, agar segera memperkenalkan diri.

"U-Uhm, Namaku Kalila, dari distrik 4 seperti yang lain."

Ustadz Ahmad dan Hasyim mengangguk, kami pun mulai berdiskusi.

Satu jam berlalu. Kami berhasil menyampaikan saran agar mereka mengantisipasi kedatangan tentara Israel. Tujuan kami sudah terpenuhi.

Tujuan kami kesini sudah terselesaikan.

Lalu? Tentu saja pulang ke rumah. Rasahana sudah sangat merindukan Sang Ummi, begitu pula denganku. Awalnya seperti itu rencana kami. Tapi...

"Bagaimana kalau kalian bersekolah disini juga?"

...tawaran ini memggoyahkan rencana semula kami. Pada akhirnya kami bersepakat untuk merundingkannya dahulu malam ini. Tak lupa, Ustadz Ahmad mengirim seorang utusan ke distrik 4 untuk mengabarkan kondisi kami dan apa yang akan kami lakukan pada orang tua kami.

Setelah menjalani hari yang melelahkan, Aku merebahkan diri di sofa. Ruangan ini khusus untuk akhwat (perempuan), jadi aku bisa beristirahat dengan lebih leluasa.

"Bukankah ini luar biasa?" celetuk Hulwa.

Aku menolehkan kepalaku dan mengernyit pada Rasahana, yang juga melakukan hal yang sama.

"Maksudnya?"

"Kehidupan kita. Allah memberikan begitu banyak masalah untuk kita, dan kita sebagai manusia hanya mengeluh lagi dan lagi, tanpa sadar, bahwa semua itu juga karena dosa kita sendiri. Bahkan setelah semua dosa yang kita lakukan itu, Allah tetap menerima taubat dari kita. Setelah semua luka yang kita alami, Allah siapkan takdir yang begitu indah," sebuah senyum indah terukir di wajah Hulwa.

Ahh. Air mataku menetes tanpa kusadari.

Betapa..
Betapa baik Allah pada hamba-Nya.

Aku berjalan menghampiri Hulwa dan duduk di tepi jendela. Mataku tak bisa berhenti memandang langit. Ciptaan Allah begitu indah, Maasyaa Allah. Bagai menghipnotisku. Memberikan rasa tenang dan bahagia, begitu menyadari bahwa Allah ciptakan ini semua untuk kita.

"Iya, kamu benar, Hulwa. Seberapa sering pun kita lalai dari Allah, Dia tetap menerima kita ketika kita bertaubat dan kembali pada-Nya."

"Dan karena itulah kita harus menjadi hamba yang selalu bertakwa pada-Nya. Melakukan segala hal demi meraih ridha-Nya. Termasuk persahabatan kita," Rasahana merangkulku dan Hulwa.

Kami saling menatap penuh rasa syukur. Alhamdulillah, Allah telah memberikanku sahabat-sahabat yang begitu baik, selalu peduli dan mengingatkanku.

Ya Allah, sampaikan salamku pada Ummi, dan ku mohon beritahu Ummi bahwa aku baik-baik saja disini, bisikku.

"Ayo, kita harus menemui yang lain untuk mendiskusikan rencana kita!"

-•-•-

"Aku ingin pulang saja," ujar Rasahana.

"Aku juga. Kalian semua tahu kami sangat ingin bertemu Ummu Rasahana. Apapun bisa terjadi di negeri ini. Kami ingin selalu bersama dan melindungi beliau," sahutku.

Hulwa terdiam mendengar pendapat kami. Aku yakin apa yang dia pikirkan saat ini adalah hal yang sama denganku. Keluarga kami ada di rumah, dan kami tak mau kehilangan mereka.

Kak Raihan menghela napas berat, "Aku tahu betul akan hal itu. Aku juga merindukan Ummi, ingin melindungi Ummi."

"Tapi, dengan belajar disini, kita bisa jadi lebih kuat, untuk melindungi muslimin yang tertindas di negara kita, juga keluarga kita," lanjut Alfath.

Alfath benar. Aku berpikir, apakah egois namanya kalau aku dan Rasahana ingin bertemu Ummi? Tanpa memikirkan yang lain. Semakin dipikirkan, semakin sulit menemukan jawabannya.

"Bagaimana kalau kita menunggu jawaban surat dari Ummu Rasahana dan Ummi?" kata Hulwa memecah hawa tegang.

Semua menoleh, tersenyum lega mendengar usulan cemerlang dari temannya yang satu itu. Kenapa tidak terpikir sama sekali olehku,ya?

Dengan begitu, semua orang akan menerima apapun keputusannya, juga ketika kita melakukan sesuatu disertai ridha orang tua, hal tersebut akan terasa lebih mudah, lancar, dan penuh berkah.

"Ide bagus! Maasyaa Allah," Alfath menatap Hulwa dengan pandangan kagum.

Buk! Sebuah bantal melesat ke wajah Alfath.

"Ghadul Bashar!" pekik Hulwa.

Semua tertawa melihat tingkah kekanakan mereka. Dengan adanya mereka, perjalanan kami jadi lebih berwarna.

"Alhamdulillah kita menemukan titik tengahnya," Kak Raihan bangkit dari duduknya dan mengelus kepala sang adik, Rasahana.

"Terima kasih, Hulwa!" Ujarku senang.

"Sama-sama! Karena sudah selesai, yuk kembali ke kamar masing-masing, sudah malam begini," Hulwa menarik tanganku dan Rasahana ke dalam kamar.

Aku menggelar tikar untuk kami tidur di lantai. Lampu ruangan yang temaram menambah suasana tenangnya malam. Tenang. Sebuah hal yang jarang sekali terjadi di Palestina, negara kami. Setiap malamnya, kami selalu tidur dalam keadaan bersiap-siaga. Serangan atau pun bom dapat terjadi sewaktu-waktu.

Kami tak mengalami masa kecil yang indah seperti anak-anak di luar sana. Banyak dari kami yang kehilangan orang tua sedari kecil, seperti diriku, Alfath, Kak Raihan, dan Rasahana. Keluarga Hulwa masih lengkap, dan aku bersyukur atas itu. Alhamdulillah.

Namun hatiku merasa ada yang aneh dengan ketenangan ini. Ada yang terasa ganjil.

"Kalila!" pekik Rasahana.

🌼🌼🌼
Reader sekalian~^^
Jangan lupa Vote dan Comment nya yaaa
Love you countless♥

-Nayqiyya

KalilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang