"Lex. Tadi aku dengar besok kita akan dibunuh di hadapannya profesor Jay."
"Profesor Jay? Mereka saling mengenal?" tanya Alex dengan penasaran.
"Aku rasa begitu. Sepertinya mereka bertiga memang musuhnya profesor Metro, Lex."
"Aku semakin penasaran terhadap rencana mereka, Fank."
"Sudah-sudah. Alex yang pandai, cara apa lagi untuk menyelamatkan kita?" tanyaku kepadanya.
"Pasrah," jawabnya datar.
Hal inilah yang membuat diriku iri kepadanya. Dalam menyelesaikan masalah, Alex tetap tenang tapi berhasil. Sedangkan aku, berusaha mati-matian tapi gagal. Terkadang takdir memang tidak adil. Tapi itu bukan salahnya takdir, itu memang kemampuanku saja yang masih kurang.
Alex benar-benar terlihat tenang. Dia hanya diam menatap ke arah bawah. Padahal aku sangat gelisah, takut jika kami berdua benar akan dibunuh. Tapi, Alex seolah-olah menganggap ini suatu hal mudah untuk dia taklukan. Malahan dia hanya tersenyum saat ku ajak dia berbicara.
"Lex, gimana nih? Biasanya kamu punya banyak ide, 'kan?" tanyaku dengan kesal.
"Pasrah," Jawabnya datar.
"Jangan becanda deh! Ayo cepat katakan! Ide apa yang kamu punya?" Nada bicaraku semakin meninggi.
"Seharusnya kamu yang mikir! Jika saja kamu tidak belok ke kiri pasti kita sudah selamat."
"Itu salahmu. Seharusnya kamu berlari di depanku, bukan di belakang!" Emosiku mulai terpancing.
"Jika saja aku tidak memikirkanmu. Aku sudah keluar dari sini sendirian. Ingat itu!" Alex mengalihkan pandangannya ke arahku. Mata kami sekarang saling bertemu.
Aku memilih untuk diam. Ku resapi dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia benar, dalam setiap menjalankan tugas dari profesor Metro, aku yang sebenarnya menjadi penghambat. Lambat, bodoh, dan penghambat itu semua memang benar sifatku.
***
Terlihat tiga pemuda berjalan ke arah kami berdua. Dengan tawa kematian mereka menugaskan anak buahnya untuk menurunkan kami. Setelah itu, anak buahnya mengambil tali, sebuah peti besi, dan menyalakan api.
Lagi-lagi Alex masih tetap terlihat tenang. Alex hanya tersenyum manis ke arah tiga pemuda gagah itu. Kemudian Alex turun- tangan dan kakinya diikat. Aku tidak paham tentang isi pikiran Alex yang tidak memberontak saat ingin dibakar.
Alex sudah berada di depan kobaran api. Kemudian dia dimasukkan ke dalam peti besi. Peti besi tersebut didorong ke kobaran api. Aku tidak tahu nasib temanku Alex ini. Rasa sedih melihat kondisinya yang dibakar hidup-hidup membuat diriku menjadi seorang sahabat yang gagal melindungi sahabatnya. Semua anggota tubuhku melemah dan tidak ikhlas jika Alex mati.
Kini giliranku yang diikat. Peti besi dan kobaran api itu sudah menunggu kedatanganku. Dengan secara paksa dia dorong tubuhku untuk masuk ke peti besi tersebut. Saat peti besi itu hendak ditutup, tiba-tiba suasana menjadi kacau. Proses pembakaran menjadi tertunda. Secara mendadak, markas kota Chaya diserang oleh musuh.
Plam adalah sejenis pisau tapi berukuran kecil dan dapat terbang. Plam tersebut banyak berterbangan dan membunuh penjaga kota Chaya. Ketiga pemuda itu langsung berlari ke dalam markas. Mungkin mereka ingin mendiskusikan tentang kejadian ini.
Satu plam terjatuh ke arahku. Plam tersebut ku amati hingga benar-benar yakin bahwa benda ini memang berasal dari fikfan kota Hinan. Aku menengok ke kanan dan kiri. Ku kira profesor Metro datang kesini untuk membantu. Tapi, itu hanyalah sebuah halusinasi saja.
Aku teringat dengan Alex. Dengan cepat ku buka peti besi itu dan melihat Alex yang sudah tidak berbentuk. Ku goyangkan tubuhnya, tapi dia memang sudah mati. Mengapa plam datang setelah Alex mati? Seharusnya plam datang sebelum Alex dibakar. Sekarang mau ku apakan mayat Alex ini? Ingin ku bawa tapi tak mungkin, ingin ku tinggal tapi mana tega.
Kemudian dengan keputusan yang bulat, aku keluar dari markas ini dengan tangis tanpa membawa Alex. Jahat? Bukan jahat tapi aku tidak kuat jika melihat kondisi tubuhnya. Setiap melihat dirinya, rasa bersalahku kian mendesak saja.
Aku berjalan ke arah selatan. Seperti tujuan awal yaitu ke hutan selatan kota Chaya. Musuh, virus, dan bahaya mereka bukan menjadi ketakutanku. Melainkan, kehilangan Alex dalam hidupku ini adalah ketakutan yang sebenar-benarnya.
***
Aku dengan Alex sudah bersahabat sekitar 20 tahunan. Bukan sahabat lagi namanya, tapi sebagai keluarga. Keluarga yang menjadi penyemangat dalam aku bertugas, melawan kerasnya kehidupan.Awalnya kami tidak saling kenal, tapi aku yang memutuskan untuk berkenalan dengannya. Hanya dia yang menarik perhatianku. Kemudian kami berdua saling mendapatkan tugas bersama. Bertengkar bukanlah hal yang aneh, tapi itu adalah kebiasaan kami.
Umurku sudah 30 tahun. Tapi aku juga belum menikah. Alasannya karena kami berdua, aku dengan Alex pernah berjanji tidak akan menikah dan fokus terhadap tugas-tugas dari profesor Metro. Kami berdua memang senang menghabiskan waktu bersama. Apalagi saat bertugas seperti ini, waktu kebersamaan terjalin sangat erat.
Apapun yang dikatakan oleh takdir. Aku akan menerimanya dengan lapang dada. Berpisah memang sangat berat, tapi itu adalah suatu hal yang setiap orang rasakan. Pahit manis harus aku cicipi agar mengetahui bahwa nikmat Tuhan harus selalu disyukuri.
***
Saat sampai di hutan, aku segera mengambil dua tas yang menjadi alat pembantu dalam bertugas. Kemudian ku jinjing tas itu dan bersandar ke salah satu pohon yang sudah tua.Di sini aku ingin melepas semua kesedihan. Mengamati tumbuhan dan hewan kecil yang saling melengkapi untuk bertahan hidup. Kaca pembesar yang ada di tas fikfan segera ku ambil. Kemudian ku amati dua ekor semut yang saling berbagi makanan.
Senyumku mulai lepas. Semua hal yang ada di sekitar mengingatkan tentang Alex. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam makhluk lain, sama persis seperti kenanganku dengan Alex.
"Alex, apa aku bisa menjalankan tugas ini tanpa kamu?" gumamku lirih. Ingin aku pergi ke kota Hinan dan mengadu ke profesor Metro. Tapi, jika kembali, itu sama saja aku menggagalkan tugas ini. Aku tidak mau Alex bersedih. Bangkit, aku bisa demi Alex, semua yang mustahil akan menjadi bisa.
"Profesor Metro, ini saya. Fank."
"Iya, Fank. Setelah kamu sampai di hutan, berjalan ke arah tenggara, di sana kamu akan menemukan sebuah danau di hutan tersebut."
"Baik, Prof. Aku akan ke sana sekarang."
"Oke."
Kini aku bersiap-siap untuk ke danau yang profesor maksud. Aku harus fokus ke tugas awal untuk mencari dan menangkap virus kecil itu. Apalagi sekarang tidak ada Alex, peluang musuh untuk membunuhku akan terbuka dengan lebar.
Jalan di sini sangat licin banyak sekali batu-batu besar dan tajam. Keseimbangan harus selalu terjaga agar aku bisa selamat sampai danau. Sebenarnya untuk melakukan tugas sendirian aku bisa. Namun, musuh-musuh di luar sana juga akan membunuh orang yang memiliki kemampuan yang lebih rendah darinya. Jika ada Alex, musuh akan berpikir dua kali baru mereka akan menyerang kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Absurd[COMPLETE]
FantasyFank manusia konyol yang mencoba untuk berpetualangan mencari virus blek. Satu persatu temannya hilang ditelan semesta. Bukan hanya itu, Fank yang niat awalnya ingin membunuh virus blek malah mengurungkan niatnya itu. Dalam perjalanannya Fank bukan...