Bab 2. Hujan dan Mahaka

287 35 10
                                    

Wahai angin yang baik, bekerjasama-lah. Tolong jangan berembus dulu. Oke? Satu, Dua....

Cekrek! Cekrek! Cekrek!

Lalu kulihat layar kamera DSLR type D5200 di tanganku.

Hebat! Terima kasih kupu-kupu sudah mau bekerjasama. Tentunya juga kamu, angin.

Namun, langit yang semula berawan, kini perlahan menurunkan rintiknya.

"Art! Ayo!"

Aku menoleh. Dia masih meneriaki namaku sambil melambaikan tangannya memintaku segera menghampiri.

"Bentar!" teriakku.

Aku ingin merasakan hujan. Bermain hujan seperti dulu. Melepaskan semua pikiranku dan hanya terus tertawa bersama hujan. Meresapi rintik menyentuh kulitku dengan lembut. Menghirup dalam-dalam aroma yang selalu jadi favoritku. Kupejamkan mataku, kudengarkan rintik membisik pada diriku. Aku selalu merasa lebih hidup setiap bersamanya; hujan.

"Ayo!"

Tiba-tiba saja pemuda itu sudah menggenggam lenganku. Aku jelas terperanjat. Dia membawaku berlari ke tempat yang aman. Lamunanku kini berubah menjadi kenyataan yang selalu membuatku berdebar-debar. Dia tidak pernah tahu bagaimana perasaanku setiap menghabiskan waktu bersamanya. Hari ini paling bersejarah buatku. Kami, untuk pertama kalinya berlari di bawah hujan, tertawa, menghapus penat dan omong kosong dunia di pundak kami. Mahaka menoleh padaku, kulihat indah baris giginya dan sepasang lesung pipi itu. Ini seperti ilustrasi dari lagu Utopia.

Tuhan, bisakah waktu berhenti sebentar saja? Aku sangat ingin melepaskan semua hal yang tergantung di pundakku. Tersenyum pahit setiap kali merasa puas atas hal yang telah kulakukan, selalu saja terjadi. Teringat harapan orang tuaku. Aku harus bagaimana? Pemuda ini selalu bisa membuatku tenang. Haruskah kukatakan saja kalau hatiku selalu gusar seperti ini? Aku hanya ingin dia tetap bersamaku, tidak ada yang berubah. Namun, rasanya semua ini seperti benang kusut yang tidak pernah menjadi lurus, kalau aku tetap memiliki perasaan ini. Tuhan, haruskah kukatakan saja padanya? Lalu bagaimana kalau dia tidak merasakan hal yang sama? Kenangan pahit tiga tahun yang lalu, rasanya begitu menyakitkan. Jujur pada perasaan, menyampaikannya, lalu kami jadi berjarak karena skandal murahan yang nggak pernah terbesit dalam pikiranku.

Aku pikir, bertemu dengan manusia baru, bisa membuatku jatuh hati padanya tanpa bayang-bayang masa lalu. Rupanya mustahil juga. Sejauh ini hanya puisi, satu-satunya alat menyampaikan isi hatiku padanya.

"Coba dengarin gue dari tadi, nurut langsung nyamperin, lo gak bakal kuyup kayak gini. Kamera lo aman?"

Dia protes sembari mengibaskan air dari rambutnya. Suaranya berhasil membawaku kembali dari tabung pikiranku.

Kutampakkan seulas senyum. "Tapi lo juga seneng kan tadi lari-larian sama gue? Kamera .. kayaknya gak aman nih," ucapku sembari mengangkat kamera yang sudah basah.

"Emang keras kepala!" serunya. "Mau gue anterin ke konternya abis dari sini?"

Aku menghela napas ringan. "Gak usah deh, nanti gue sendiri aja ke sana."

"Apa sih yang lo pikirin tadi? Sampai gue samperin, lo masih bengong aja."

Dia masih berdiri di sampingku. Tatapannya terjurus ke taman bunga yang semula ramai dan kini hanya tersisa kami berdua. Suara benturan bulir hujan dengan atap pondok tempat kami berteduh, begitu nyaring terdengar, berperan menjadi latar instrumen dari percakapan kami.

Kupejamkan kedua mataku, kemudian menarik napas dalam-dalam dan kuembuskan perlahan. "Gue ingat masa kecil pas main hujan," ucapku menjawab pertanyaannya.

Kini bibirnya membulat, ber-oh ria. Mahaka melipat kakinya bersila dan tatapannya masih terjurus ke arah yang sama. Rambut ikalnya masih basah. Hingga beberapa menit, dia belum bicara apa-apa lagi. Kupikir, kali ini dia yang sedang menerawang jauh pandangannya ke belakang, hingga telinganya nggak mendengar ucapanku.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang