Bab 10. Perangkap

172 27 63
                                    

Sudah seminggu aku sedikit nggak percaya diri pada keputusan-keputusan yang kubuat. Memang sih, saat ini ada Rimba yang membantuku, tapi Mahaka itu berbeda. Dia, jimatku. Aku belum mendengar kabarnya lagi semenjak hari itu. Terakhir kali dia mengirimiku pesan saat aku datang ke pameran lukis Rimba. Dia bertanya apakah aku sudah menemukan jawabannya. Namun, segala hal yang berkaitan dengan Hutan Galeri betul-betul menguras waktu dan pikiranku. Aku bahkan nggak punya sisa tempat dalam otakku untuk memikirkan Mahaka. Lagi-lagi soal Hutan Galeri.

Seminggu yang lalu saat baru satu jam aku mengunggah foto-foto hasil jepretku di NFT, ratusan dolar berhasil kudapatkan. Hari ini aku mengajak Rimba untuk bertemu dengan Om Jeremy; pengacara kenalan kami. Membahas soal pembelian 20% saham milik Rinja. Supaya nggak mencolok dan mengundang curiga Rinja, aku dan Rimba sepakat, akan membeli dengan menggunakan nama pengacara Rimba.

"Hari ini akan ada pameran di galeri dan pembukaan pembelian saham. Om Jeremy tolong bantu handle itu, saya dan Art punya rencana lain di waktu yang bersamaan," tutur Rimba memberi penjelasan pada pengacaranya.

Pria 40 tahun itu mengerti hal yang harus dilakukan. Biar begitu, beliau tentu jauh lebih berpengalaman daripada kami. Jam terbangnya sebagai pengacara, bukan baru beberapa tahun saja, sudah 13 tahun karirnya mendapat predikat baik dari para klien. Kliennya pun bukan orang sembarangan, itu pula yang membuatku percaya pada keputusan Rimba.

"Kalian berdua tenang aja, saya juga sudah siapkan kontrak perjanjian penyerahan saham 20% itu kepada kalian berdua. Ini berkasnya, tolong ditanda tangani." Pria itu menyerahkan dua eksemplar surat perjanjian. Aku dan Rimba membacanya seksama, nggak ada yang janggal, semua pasal perjanjiannya sesuai.

Aku mengulurkan tangan pada pria itu. "Terima kasih Om Jeremy, senang bisa menjadi klien Anda, semoga kedepannya kita bisa kerjasama lagi."

"Kalau begitu, kami permisi," ucap Rimba.

Aku dan Rimba kini bersiap untuk menghadiri acara malam nanti, kurang dari dua jam lagi acara di galeri akan dimulai.

"Lo tenang aja, rencana kali ini pasti bakal berhasil."

Aku menoleh ke arah pemuda yang tengah fokus menjalankan kendaraan. "Oke."

***

Pukul 7 malam, kami telah tiba di galeri. Hiruk pikuk kendaraan memenuhi lahan parkir. Pengunjung memenuhi hampir setiap sudut galeri. Rerata penampilan mereka memang nggak sembarangan. Di masa seperti ini, serba digital, rupanya nggak ada toleransi untuk seni lukis. Dia memiliki kekuatannya sendiri, pemikat hati orang-orang yang ada di sini.

"Ngomong-ngomong, soal teman lo itu, lo yakin dia bakal berhasil?" tanya Rimba yang kini berjalan di sampingku. Pemuda itu berpenampilan necis dengan tuksedo hitam dan rambutnya yang selalu dicepol. Bagian lengan tuksedo dia gulung hingga siku. Sneakers putih dan jam tangan cokelat di lengan kanannya, membuat penampilan Rimba jauh lebih rapi dari biasanya. Sampai-sampai, aku kira sosok yang di sampingku ini artis pendatang baru.

Aku menggelengkan kepala. "Mendadak dia harus ketemu sama klien-nya."

Rimba menganggukkan kepala. "Well, gue rasa dengan gue aja udah cukup sih."

Kami pun memasuki Hutan Galeri bersama. Jalan bersama Rimba kali ini lebih mendebarkan dari biasanya. Malam ini, kami akan membuat pertunjukkan bagus, mungkin?

Acara masih akan dimulai satu jam lagi, tetapi galeri ini sudah dipadati para pengunjung. Nggak lupa juga para investor asik berbincang di sudut-sudut galeri, seraya memperhatikan lukisan yang dipamerkan.

DREAM OF ME [ILUSI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang